Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan, tantangan terbesar ekonomi hijau adalah menyediakan pembiayaan berkelanjutan untuk menangani perubahan iklim.
Hal ini dikarenakan transisi dari ekonomi konvensional kepada ekonomi berkelanjutan yang berfokus kepada lingkungan membutuhkan biaya sangat besar.
Baca Juga
"Di Indonesia sendiri, kebutuhan dana penanganan iklim ekonomi hijau mencapai USD479 miliar atau kisaran Rp6.700 triliun atau Rp745 triliun per tahun hingga 2030," ungkapnya dalam webinar OJK, Jakarta, Selasa (28/12).
Advertisement
Sebagai contoh, Pemerintah telah memperhitungkan dana yang diperlukan untuk membiayai transisi dari energi fosil ke energi terbarukan, yakni mencapai USD5,7 miliar atau berkisar Rp81,6 triliun. Biaya transisi tersebut juga terkait dengan perubahan pada industri hilir yang harus mengubah proses pengolahannya.
Padahal, lanjut Wimboh, kebutuhan pembiayaan tersebut tentunya tidak dapat ditanggung hanya dengan APBN. Terlebih, kondisi perekonomian Indonesia masih dalam tahap pemulihan pasca terdampak parah pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi antara swasta dan Pemerintah serta bantuan organisasi Internasional untuk dapat secara optimal menyokong kebutuhan pembiayaan yang sangat besar tersebut.
Kemudian, OJK sebagai otoritas di sektor keuangan memiliki andil yang besar dalam menyusun kebijakan keuangan berkelanjutan di sektor keuangan dalam mendukung implementasi ekonomi hijau. Kebijakan ini dimulai dengan penerbitanRoadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2020).
Pada Roadmap Tahap I, melalui POJK Nomor 51 Tahun 2017, OJK mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB). Selain itu, terdapat kewajiban bagi lembaga keuangan, emiten dan perusahaan publik untuk menyampaikan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report).
"Hasilnya, Indonesia memperoleh peringkat 1 berdasarkan survei tentang tingkat kepercayaan terhadap perusahaan yang menyampaikan laporan kinerja keberlanjutan dari Globescan and Global Reporting Initiative di tahun 2020," bebernya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II
Selanjutnya OJK menyusun Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) yang isinya menyempurnakan beberapa hal dalam Roadmap Tahap Iyaitu:
a. Belum tersedianya taksonomi hijau;
b. Belum terintegrasinya risiko keuangan perubahan iklim (climate related financial risk) ke dalam kerangka mitigasi risiko;
c. Belum tersedianya insentif untuk penerbitan instrumen keuangan berkelanjutan, dan
d. Rendahnya awareness industri keuangan mengenai Inisiatif Keuangan Berkelanjutan;
Untuk itu, dalam Roadmap Tahap II, OJK memiliki fokus pada:
a. Penyelesaian Taksonomi Hijau, sebagai acuan nasional dalam pengembangan produk-produk inovatif dan/atau keuangan berkelanjutan
b. Mengembangkan kerangka manajemen risiko berbasis keuangan berkelanjutan untuk Industri Jasa Keuangan dan pedoman pengawasan berbasis risiko iklim untuk pengawas.
c. Mengembangkan skema pembiayaan atau pendanaan proyek yang inovatif dan feasible.
d. Meningkatkan awareness dan capacity building untuk seluruh stakeholders yang tentunya menjadi target yang bersifat continuous dan multiyears.
"Dapat kami sampaikan juga bahwa kami telah membentuk Task Force Keuangan Berkelanjutan dimana kick-off nya pada awal Oktober lalu. Kehadiran Task Force ini menjadi suatu platform koordinasi sektor jasa keuangan yang terintegrasi untuk ekosistem Keuangan Berkelanjutan di Indonesia serta meningkatkan green financing oleh lembaga jasa keuangan," tutupnya.
Advertisement