Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, mengatur dana bagi hasil (DBH) untuk pemerintah daerah sangat rumit. Hal ini terjadi karena saat ini harga-harga komoditas mengalami kenaikan yang signifikan.
Dengan kenaikan harga komoditas ini, daerah yang merupakan penghasil komoditas tersebut tentu saja saja mengharapkan DBH juga naik. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
"DBH ini tidak dalam situasi yang mudah, misalnya harga CPO ini tinggi sekali tapi biasanya yang ditetapkan undang-undang lebih rendah," kata Sri Mulyani dalam Sosialisasi UU HKPD di Riau, Jumat (25/3/2022).
Advertisement
Dalam UU APBN tahun 2022, harga batu bara ditetapkan sebesar USD 64 per barel, namun saat ini harganya sudah lebih dari USD 100 per barel. Seharusnya, negara bisa mendapatkan penghasilan yang tinggi dari harga jual komoditas yang melonjak.
Sayangnya penerimaan yang tinggi tersebut juga sejalan dengan penambahan subsidi yang harus diberikan pemerintah ke masyarakat. Apalagi harga BBM tingkat global mengalami kenaikan, konsumsi listrik dan bahan pangan juga perlu suntikan subsidi dari pemerintah.
"Jangan sampai duitnya habis karena permintaan tinggi dan subsidi semua naik, BBM, listrik dan pangan juga (naik) subsidinya," kata Sri Mulyani.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rumusan Baru
Sementara itu daerah penghasil mengharapkan DBH yang diterima tahun depan meningkat karena harga komoditas melonjak. Padahal dalam kondisi sebaliknya, saat harga komoditas dunia anjlok, pemerintah daerah tetap menuntut haknya atas DBH.
"Kalau minyak tinggi maka Riau dapat DBH lebih tinggi, (tapi) ini kami yang menahan syoknya," kata dia.
Dalam kondisi ini pemerintah harus menerima shock absorber. Sehingga mengurangi risiko tersebut, maka pemerintah pusat membuat rumus penghitungan yang baru.
"Di dalam ini kita ada perbaikan, untuk alokasinya ditetapkan T-1," kata dia.
Advertisement