Liputan6.com, Jakarta - Presiden Bank Dunia, David Malpass mengatakan dunia sedang menghadapi "bencana manusia" dari krisis pangan yang timbul dari konflik Rusia Ukraina.
Hal itu Bos Bank Dunia ini sampaikan dalam sebuah wawancara dengan editor ekonomi BBC, Faisal Islam.
Baca Juga
Dilansir dari laman BBC, Kamis (21/4/2022)Â Malpass memperingatkan bahwa rekor kenaikan harga pangan akan mendorong ratusan juta orang ke dalam kemiskinan dan gizi yang lebih rendah, jika krisis Rusia-Ukraina terus berkepanjangan.
Advertisement
"Ini bencana manusia, artinya nutrisi turun. Tapi kemudian itu juga menjadi tantangan politik bagi pemerintah yang tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak menyebabkannya dan mereka melihat harganya naik," ujar Malpass di sela-sela pertemuan IMF-Bank Dunia di Washington.
Bank Dunia menghitung mungkin ada kenaikan besar hingga 37 persen dalam harga pangan, yang naik bagi masyarakat miskin yang akan makan lebih sedikit dan memiliki lebih sedikit uang untuk hal lain seperti sekolah.
Krisis lonjakan harga ini juga merupakan imbas dari penyebaran Covid-19, menurut Malpass.
"(lonjakan harga) itu mempengaruhi makanan dari semua jenis minyak, biji-bijian, dan kemudian masuk ke tanaman lain, tanaman jagung, karena harga mereka naik ketika gandum naik," bebernya.
Ada cukup makanan di dunia untuk memberi makan semua orang, kata Malpass, dan stok global besar menurut standar, tetapi harus ada proses berbagi atau penjualan yang membuat makanan bisa diakses untuk mereka yang membutuhkan.
Maka dari itu, ia menghimbau agar negara-negara di dunia mensubsidi produksi atau membatasi harga yang tinggi.
Selain itu, ia juga memperingatkan krisis yang timbul dari ketidakmampuan negara-negara berkembang untuk membayar utang pandemi yang besar, di tengah kenaikan harga pangan dan energi.
IMF Pangkas Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Global
Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas perkiraan tentang pertumbuhan ekonomi global dalam dua tahun ke depan karena [konflik Rusia-Ukraina.
"Dampak ekonomi dari perang menyebar jauh dan luas," kata IMF dalam laporan outlook terbarunya, dikutip dari CNN, Rabu (20/4/2022).
IMF sekarang memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 3,6 persen pada 2022 dan 2023. Angka baru ini menandai penurunan tajam dari pertumbuhan 6,1 persen pada 2021.
Prakiraan baru itu juga menandai penurunan peringkat masing-masing 0,8 dan 0,2 poin persentase, dari perkiraan Januari.
IMF juga memperkirakan ekonomi Ukraina menyusut 35 persen tahun ini, sementara upaya negara Barat untuk menekan Rusia memungkinkan ekonominya berkontraksi 8,5 persen.
Tetapi karena perang telah menyebabkan lonjakan harga energi dan komoditas lainnya, memperburuk masalah rantai pasokan dan memenuhi ekspektasi inflasi yang lebih persisten, IMF melihat dampaknya akan terlihat lebih luas.
"Perang akan sangat menghambat pemulihan global, memperlambat pertumbuhan dan meningkatkan inflasi lebih jauh," beber IMF, menekankan bahwa ekonomi dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19 ketika konflik Rusia-Ukraina pecah pada akhir Februari.
Advertisement
Ekonomi Eropa Hingga China Imbas Konflik Rusia-Ukraina
Di Eropa, yang sangat bergantung pada pasokan energi dari Rusia, pertumbuhan ekonominya diperkirakan melambat menjadi 2,8 persen pada 2022Â turun 1,1 poin persentase dibandingkan Januari.
Sementara ekonomi Amerika Serikat, diperkirakan relatif terisolasi.
Namun kelemahan di antara mitra dagang, serta rencana Federal Reserve untuk segera menarik kembali dukungan era pandemi untuk ekonomi dan menaikkan suku bunga, membebani prospek.
IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS sebesar 3,7 persen pada 2022 dan 2,3 persen pada 2023, turun 0,3 poin persentase sejak perkiraan terakhirnya.
Badan tersebut juga memperkirakan China akan mencatat pertumbuhan ekonomi 4,4 persen di 2022.Â
Angka itu jauh di bawah target resmi Beijing yang sekitar 5,5 persen.
Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu kini tengah menghadapi tantangan akibat lockdown Covid-19, dampak dari perang di Ukraina serta masalah di sektor propertinya.
Sementara laporan IMF mengamati bahwa "prospek ekonomi global telah memburuk secara signifikan" sejak awal tahun, laporan tersebut tidak memprediksi resesi, yang biasanya disebut IMF ketika pertumbuhan ekonomi turun menjadi 2,5 persen atau lebih rendah.