Tak Terkira, Inflasi Negara Ini Meroket Capai 234 Persen di 2022

Di kawasan Amerika Selatan, ada negara yang mengalami inflasi yang sangat tinggi. Angkanya mencapai 234 persen pada 2022.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 24 Jan 2023, 14:16 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2023, 14:16 WIB
Mengenal Konsep Inflasi dalam Ekonomi
Ilustrasi Konsep Inflasi Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Di kawasan Amerika Selatan, ada negara yang mengalami inflasi yang sangat tinggi. Namun inflasi itu saat ini mulai menunjukkan penurunan. Inflasi Venezuela berhasil menurun ke angka 234 persen pada 2022. Angka terbaru itu diungkapkan oleh Wakil Presiden Venezuela Delcy Rodriguez.

Tetapi, Melansir US News, Selasa (24/1/2023), tingginya angka inflasi itu telah menandai penurunan drastis dari inflasi Venezuela tahun 2021 yang menembus 686,4 persen.

Dalam sebuah pertemuan dengan pemimpin bisnis asal Turki dan Venezuela, Rodriguez mengatakan negaranya memang tengah berjuang dengan krisis ekonomi yang dalam dan panjang.

Diketahui, Bank sentral Venezuela jarang mempublikasikan data ekonomi, dan belum mengungkapkan data inflasi negara itu sejak bulan Oktober 2022.

Selama berbulan-bulan, Presiden Venezuela Nicolas Maduro dan pemerintahannya berupaya menekan inflasi harga konsumen dengan kebijakan ekonomi salah satunya menahan nilai tukar, membatasi belanja publik, dan menaikkan pajak.

Strategi tersebut telah menunjukkan celah. Sejumlah sumber menyebut, upaya itu malah mengerek kenaikan harga-harga dalam waktu cepat karena melemahnya kurs Venezuela terhadap dolar AS.

Selaain itu, belanja pemerintah juga meningkat dan permintaan akan dolar AS melebihi cadangan devisa Venezuela di Bank Sentralnya.

Pengeluaran pemerintah juga meningkat dan permintaan dolar melebihi cadangan mata uang asing bank sentral. Beberapa ekonom juga memperingatkan bahwa awal bulan ini Venezuela berisiko memasuki kembali periode hiperinflasi.

 

 

 

 

Inflasi Tinggi, Uang Belanja Rumah Tangga Warga AS Meroket

Ilustrasi Inflasi
Ilustrasi Inflasi (Sumber: Pixabay)

Dari biaya sewa, bahan makanan, hingga utilitas, pengeluaran keluarga di Amerika Serikat semakin naik setiap bulannya karena mereka berusaha bertahan di tengah tingginya inflasi.

Melansir CNN Business, Selasa (17/1/2023) meski inflasi AS telah mereda dalam beberapa bulan terakhir, Moody's Analytics mengungkapkan, pengeluaran rumah tangga di negara itu pada umumnya bertambah hingga USD 371 atau sekitar Rp. 5,6 juta untuk keperluan barang dan jasa pada Desember 2022. 

Kabar baiknya adalah guncangan biaya hidup di AS tampaknya mulai mereda dan gaji mulai meningkat.

Pada puncak inflasi di bulan Juni 2022 lalu, keluarga di AS menghabiskan biaya hidup tambahan sebesar USD 502 atau Rp. 7,6 juta (asumsi kurs Rp. 15.700 per dolar AS) per bulan dibandingkan dengan tahun sebelumnya,.

Moody's Analytics menyebut, pengeluaran tambahan paling tinggi adalah untuk biaya tempat tinggal hingga USD 82,60 (Rp. 1,2 juta)  per bulan dan USD 72,01 (Rp. 1 juta) untuk pangan.

Biro Statistik Tenaga Kerja AS juga mengungkapkan bahwa masyarakat Amerika menghabiskan pengeluaran 11,8 persen lebih tinggi untuk bahan makanan dibandingkan tahun lalu.

Salah satu kenaikan harga pangan yang tinggi di AS terjadi pada telur, melonjak hampir 60 persen selama setahun terakhir, kenaikan tahunan terbesar sejak 1973, sebagian karena krisis pasokan yang disebabkan oleh flu burung.

Biaya lainnya yang membebani keluarga di AS termasuk utilitas yang naik USD 47,33, perawatan kesehatan naik USD 17,97, hiburan naik USD 15,27, dan minuman beralkohol naik USD 2,67, menurut Moody's Analytics.

Sementara itu, terjadi penurunan pada harga bensin, di mana keluarga di AS pada umumnya bisa menghemat USD 1,55 (Rp. 23,500  ribu) per bulan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

OECD : Pemulihan Ekonomi China Bisa Bantu Atasi Inflasi Global

WHO mengimbau China untuk merilis lebih banyak informasi COVID-19
Para perempuan berjalan di bawah lentera merah yang digantung di gang perbelanjaan dekat Danau Houhai untuk merayakan Tahun Baru Imlek di Beijing, Senin, 16 Januari 2023. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengimbau China untuk terus merilis informasi tentang gelombang infeksi COVID-19 setelah pemerintah mengumumkan hampir 60.000 kematian sejak awal Desember menyusul keluhan selama berminggu-minggu karena gagal memberi tahu dunia apa yang terjadi. (AP Photo/Andy Wong)

Sekretaris Jenderal Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) Mathias Cormann mengatakan bahwa dibukanya kembali kegiatan ekonomi China akan berdampak sangat positif dalam perjuangan global untuk mengatasi lonjakan inflasi.

"Kami sangat menyambut pelonggaran pembatasan terkait Covid-19 di China," kata Cormann, dikutip dari CNBC International, Selasa (17/1/2023).

Dia mengakui, akan ada tantangan dalam jangka pendek untuk pemulihan ekonomi China. "Kami melihat tingkat infeksi yang meningkat yang kemungkinan memiliki beberapa dampak jangka pendek," jelasmya kepada Joumanna Bercetche dari CNBC di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss pada Senin (16/1).

"Tetapi dalam jangka menengah hingga panjang, ini adalah hal yang sangat positif dalam memastikan bahwa rantai pasokan berfungsi lebih efisien dan lebih efektif, memastikan bahwa permintaan di China dan memang perdagangan secara lebih umum berlanjut dalam pola yang lebih positif," paparnya.

Seperti diketahui, China telah mengakhiri sebagian besar kebijakan Covid-19 yang ketat pada awal Desember 2022. Namun ketika langkah tersebut dilakukan, negara itu masih menghadapi lonjakan kasus Virus Corona.

Beijing melaporkan pada Sabtu (14/1) bahwa hampir 60.000 pasien Covid-19 telah meninggal dunia di rumah sakit sejak China mencabut pembatasan yang ketat bulan lalu, peningkatan tajam dari angka sebelumnya.

Pembukaan kembali China, di samping serangkaian kejutan data yqng positif, telah dikutip oleh sejumlah ekonom dalam beberapa pekan terakhir sebagai salah satu faktor untuk meningkatkan perkiraan ekonomi global yang sebelumnya suram.

"Salah satu pendorong inflasi adalah guncangan pasokan yang terkait dengan pasokan global yang tidak mampu memenuhi permintaan global..secepat yang diperlukan," beber Cormann.

"Jadi, China kembali ke pasar global dengan sungguh-sungguh dan rantai pasokan berfungsi lebih efisien akan membantu menurunkan inflasi. Jelas, ini sangat positif," ujarnya.

Survei BI: Inflasi Minggu II Januari 2023 di Angka 0,41 Persen

BI Prediksi Inflasi Oktober Capai 0,05 Persen
Pedagang beraktivitas di salah satu pasar tradisional di Jakarta, Rabu (26/10/2022). Bank Indonesia (BI) dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) memperkirakan tingkat inflasi hingga minggu ketiga Oktober 2022 mencapai 0,05% secara bulanan (month-to-month/mtm). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Survei Pemantauan Harga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) pada Minggu II Januari 2023 menunjutkan bahwa perkembangan harga sampai dengan minggu kedua Januari 2023 diperkirakan terjadi inflasi sebesar 0,41 persen (mtm).

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono menjelaskan, komoditas utama penyumbang inflasi Januari 2023 sampai dengan minggu kedua yaitu cabai rawit sebesar 0,07 persen (mtm).

Setelah itu disusul cabai merah 0,06 persen (mtm), bawang merah 0,05 persen (mtm), beras 0,04 persen (mtm), rokok kretek dengan filter 0,03 persen (mtm), emas perhiasan 0,02 persen (mtm).

Untuk komoditas bawang putih, kangkung, tahu mentah, daging ayam ras, bayam, nasi dengan lauk, rokok kretek dan tarif air minum PAM masing-masing jugamengalami inflasi sebesar 0,01 persen (mtm).

Sementara itu, sejumlah komoditas yang menyumbang deflasi pada periode ini yaitu bensin -0,06 persen (mtm), telur ayam ras, angkutan udara masing-masing sebesar -0,03 persen (mtm) dan tomat -0,01 persen (mtm).

Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya