Liputan6.com, Jakarta Sejumlah negara di dunia tengah dibayang-bayangi ancaman resesi global. Tak sedikit negara mengalami kesulitan ekonomi dan kemudian meminta bantuan dari IMF.
Lantas, bagaimana peluang Indonesia, apakah akan mengikuti arus ikut jatuh resesi? Tenang, hal itu masih jauh. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini masih di kisaran 5,3 persen.
Baca Juga
Adapun, definisi resesi adalah pertumbuhan ekonomi sebuah negara negatif dua kuartal berturut-turut.
Advertisement
Ekspor Masih Kuat
Menko Airlangga menjamin, banyak hal yang dipunyai Indonesia untuk tidak masuk ke jurang resesi. Ketergantungan pada pasar ekspor yang relatif rendah atau kurang dari 50 persen menjadikan negara-negara seperti Indonesia, Jepang, Brasil, Tiongkok, dan Amerika Serikat memiliki resiliensi yang tinggi melalui dukungan pasar domestik yang kuat.
Menko mencatat hingga akhir 2022, nilai ekspor Indonesia mencapai USD299,57 miliar atau tumbuh 29,40 persen (yoy). Sedangkan sisi impor juga mengalami pertumbuhan yang hampir setara yakni 25,37 persen (yoy) atau sebesar USD245,98 miliar.
Lebih lanjut, Airlangga optimis kinerja ekspor dalam perdagangan internasional Indonesia pada tahun 2023 diproyeksikan akan tumbuh sebesar 12,8 persen (yoy) dan impor akan tumbuh lebih tinggi yakni sebesar 14,9 persen (yoy).
Tidak hanya itu, kebijakan zero Covid-19 di China juga menjadi salah satu stimulus ekspor Indonesia. Maklum saja, ekspor Indonesia paling tinggi sampai saat ini adalah China. Selagi ekonomi China masih tumbuh, maka ekspor Indonesia juga masih ciamik
Masih tumbuhnya ekspor Indonesia inilah menjadi salah satu senjata hadapi ancaman resesi global.
Konsumsi Domestik Masih Tinggi
Senada dengan Menko Airlangga, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga memastikan Indonesia tahan terhadap resesi global.
permintaan domestik khususnya konsumsi swasta diyakini akan mendongkrak perekonomian RI di tahun 2023. Berkat pencabutan kebijakan PPKM, kepercayaan konsumen semakin baik dan secara langsung menumbuhkan konsumsi swasta.
"Darimana asalnya yaitu konsumsi swasta yang lebih cepat dari yang kita perkirakan dengan adanya PPKM dan adanya confident dari konsumen. Confident dari konsumen itu menumbuhkan konsumsi swasta. Dua sumber itu terutama di samping ada sumber-sumber lain. Jadi itu adalah jawaban," ujarnya.
Â
Cara Pemerintah Jaga Resiliensi Perekonomian Hadapi Ancaman Resesi Global 2023
Memasuki kuartal terakhir tahun 2022, perekonomian global masih terus menghadapi hantaman perlambatan pertumbuhan ekonomi yang juga merupakan bagian dari efek lanjutan downside risks  dari pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum usai sepenuhnya.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang disajikan sejumlah lembaga internasional juga memperlihatkan hal yang sama, dimana untuk tahun 2022 akan berada pada rentang 2,8%-3,2% dan terpangkas tajam untuk tahun 2023 dari yang semula diharapkan bertengger pada rentang 2,9%-3,3% menjadi hanya 2,2%-2,7%.
Kemampuan perekonomian global untuk mampu pulih saat ini juga ditambah dengan tantangan terkini dari global shocks berupa lonjakan inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas dan suku bunga yang tinggi, stagflasi, gejolak geopolitik, climate change, serta krisis yang terjadi pada sektor energi, pangan, dan finansial.
Ketidakpastian yang tinggi akibat dari kondisi ini juga telah menempatkan perekonomian global berada dalam pusaran badai yang sempurna, the perfect storm, sehingga mengakibatkan munculnya ancaman resesi global pada tahun 2023 nanti.
"Pandemi Covid-19 menunjukkan kepada kita bahwa global solidarity bukan hanya jargon. Tidak ada yang benar-benar aman, sampai seluruh dunia aman," ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Sinyal pelemahan ekonomi global ini juga tercermin dari kembali melambatnya Purchasing Managers’ Index (PMI) global yang berada di level kontraksi 48,8 pada bulan November 2022, setelah pada bulan sebelumnya tercatat pada 49,9.
Lebih lanjut, banyak negara yang secara teknis telah memasuki level kontraksi sejak bulan Juli 2022 lalu. Sejumlah negara di dunia yang terlihat masih mengalami kontraksi PMI pada bulan November seperti di China (49,4), United Kingdom (46,5), Amerika Serikat (47,7), Jepang (49), dan Jerman (46,2).
Meski tekanan pada sisi harga mulai mereda, penurunan kinerja manufaktur secara global diantaranya juga merupakan imbas dari pelemahan indeks output serta terbitnya kekhawatiran sektor manufaktur terhadap prospek perekonomian ke depan.
Â
Advertisement
Manufaktur ASEAN
Sementara itu, pertumbuhan seluruh sektor manufaktur ASEAN pada bulan November 2022 tetap terjaga di level optimis di posisi 50,7.
Kinerja manufaktur di sebagian besar negara di kawasan ASEAN masih menunjukkan tingkat ekspansi yakni Singapura (56,0), Filipina (52,7), Thailand (51,1), dan Indonesia (50,3). Selain itu, negara yang telah berada pada level kontraksi yakni Malaysia (47,9), Vietnam (47,4) dan juga Myanmar (44,6).
Lebih lanjut, dipicu oleh supply disruption terutama pada sektor energi dan pangan akibat pandemi dan gejolak geopolitik, telah membuat tingkat inflasi global merangkak naik pada level yang tinggi.
Lonjakan inflasi yang kemudian direspons sejumlah negara dengan memberlakukan pengetatan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga, pada akhirnya memberikan tekanan lebih kepada perekonomian global.
Pada bulan Oktober 2022, inflasi tinggi tercatat masih terjadi di sejumlah negara seperti Argentina (88%), Turki (85,5%), Rusia (12,6%), Italia (11,9%), United Kingdom (11,1%), dan Uni Eropa (10,7%).
Second round effect tingkat inflasi yang tinggi juga akan dirasakan pada stabilisasi neraca perdagangan akibat penurunan permintaan ekspor.
Â
Pasar Tenaga Kerja
Selain itu, pasar tenaga kerja global juga akan mengalami pelemahan dengan terjadinya penurunan upah riil serta permintaan kredit yang cenderung akan mengalami penurunan akibat respons pengetatan likuiditas.
Mencermati tingginya ketidakpastian perekonomian global tersebut, perekonomian nasional patut untuk memiliki kewaspadaan tinggi dan bersiap menghadapi stagflasi global.
Tekanan capital outflow, depresiasi nilai rupiah, serta penurunan ekspor dan kinerja manufaktur yang berpotensi meningkatkan PHK menjadi dampak risiko eksternal yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk diantisipasi.
Advertisement