Liputan6.com, Jakarta - Regulator Amerika Serikat (AS) segera menyita aset Silicon Valley Bank (SVB) pada Jumat, 10 Maret 2023 setelah penarikan dana besar-besaran. Hal itu membuat kegagalan terbesar lembaga keuangan sejak puncak krisis keuangan global pada 2008.
Dikutip dari euronews.com, Senin (13/3/2023), Silicon Valley Bank, bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat bangkrut setelah deposan, sebagian besar pekerja teknologi dan perusahaan yang didukung modal ventura, bergegas menarik uang mereka pekan ini karena kecemasan atas situasi bank menyebar.
Bank tidak dapat lagi mengatasi penarikan besar-besaran nasabahnya dan upaya terakhir untuk mengumpulkan dana tidak berhasil.
Advertisement
Otoritas Amerika Serikat resmi mengambil alih bank tersebt dan mempercayakan pengelolaannya kepada the Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) atau seperti lembaga penjamin simpanan (LPS) di Indonesia.
Pengamat ekonomi dan perbankan Universitas Bina Nusantara, Moch.Doddy Ariefianto mengatakan, penutupan Silicon Valley Bank tidak berdampak terhadap Indonesia. Lantaran kemungkinan exposure bank nasional, menurut Doddy tidak ada ke SVB. Selain itu, regulator AS juga bergerak cepat untuk mengatasi masalah Silicon Valley Bank agar tidak menular ke bank lainnya.
"Tidak langsung (berdampak ke Indonesia-red). Mestinya otoritas Amerika Serikat bisa handle, jadi tidak berdampak,” ujar Doddy saat dihubungi Liputan6.com.
Langkah Out of The Box
Meski demikian, kejadian penutupan Silicon Valley Bank, menurut Doddy memberikan pelajaran penting. Salah satunya langkah regulator Amerika Serikat yang out of the box, seperti FDIC.
Doddy menuturkan, FDIC seperti LPS di Indonesia yang menjaminkan dana nasabah. Di AS, dana nasabah dijamin sekitar USD 250.000 atau sekitar Rp 3,84 miliar (asumsi kurs Rp 15.379 per dolar AS). Dalam kasus Silicon Valley Bank, Doddy menuturkan, deposan yang memiliki dana di atas USD 250.000 juga dijamin.
“Ambil langkah out the box. Sudah siap dengan escape lost. Penjaminan di atas USD 250.000, ini mereka lakukan,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (!3/3/2023).
Pembelajaran bagi Indonesia
Ia menuturkan, dengan langkah tersebut membuat nasabah bank lain percaya diri dengan sistem perbankan. “Yang ditakutkan kalau terjadi rush seperti krisis 1997. Nasabah menarik dana besar, hal itu dapat buat bank jebol,” ujar dia.
Melihat situasi saat ini, Doddy menilai regulator AS sudah sangat siap. Ini jadi pelajaran buat Indonesia. “LPS AS (FDIC-red) fleksibel dan didukung. Kolaborasi Menteri Keuangan, Gubernur the Fed,” kata dia Doddy.
Doddy menuturkan, saat ini ketidakpastian sangat tinggi sehingga Amerika Serikat tidak mau ambil risiko. Jadi Silicon Valley Bank segera diatasi. “Fleksibel dalam kebijakan. Nasabah yang dijamin USD 250.000. (Tapi ini-red) semua deposan dijaminkan. Diharapkan tidak timbul rush. Ini ke-handle, dan sudah aksi. Ini menenangkan, jadi tidak ada isu,” ujar dia.
Sementara itu, Ekonom BCA, David Sumual menuturkan, kejadian penutupan Silicon Valley Bank ini dapat menjadi pembelajaran bagi bank nasional. Silicon Valley Bank alami kebangkrutan setelah alami penarikan dana oleh pemilik dana karena neraca keuangannya memburuk. Di sisi lain bisnis SVB dan depositnya, menurut David terlalu terkonsentrasi di startup.
“Mungkin ini bisa menjadi study case juga buat bank nasional dalam me-manage balance sheetnya,” kata dia.
Advertisement
Ekonom Goldman Sachs Sebut Runtuhnya Silicon Valley Bank Tak Berpengaruh ke Asia
Ekonom Asia Pasifik Goldman Sachs Andrew Tilton menuturkan, prospek ekonomi kawasan itu tidak mungkin terpengaruh dari kejatuhan Silicon Valley Bank.
“Sejauh ini ditangani relatif cepat oleh regulator dan tidak menyebar ke entitas tambahan di luar yang telah dicatat sejauh ini, maka kita cenderung tidak melihat dampak signifikan pada prospek pertumbuhan Asia,” ujat Tilton kepada CNBC.
Ia menegaskan, perkiraan perusahaan untuk ekonomi China dan menekankan sebagian besar akan didorong oleh pembukaan kembali setelah kebijakan nol COVID-19.
“Kami terus mengharapkan pertumbuhan ekonomi China 5,5 persen tahun ini. Sebagian besar didorong oleh pembukaan kembali dan mungkin kurang sensitif terhadap masalah khusus ini,” tutur dia.
Bursa Saham Asia Tersungkur di Tengah AS Berupaya Bendung Risiko Silicon Valley Bank
Sebelumnya, bursa saham Asia Pasifik melemah pada perdagangan saham Senin, (13/3/2023) seiring regulator Amerika Serikat (AS) mengumumkan deposan dan lembaga keuangan yang terkait dengan Silicon Valley Bank. Hal ini dipandang sebagai langkah untuk membendung risiko sistemik lebih lanjut.
Dikutip dari CNBC, Senin, 13 Maret 2023, Silicon Valley Bank pekan lalu ditutup oleh regulator, setelah nasabah menarik simpanan sebesar USD 42 miliar atau sekitar Rp 649,22 triliun (asumsi kurs Rp 15.457 per dolar AS) pada Kamis, 9 Maret 2023.
Di Jepang, indeks Topix merosot 2,01 persen, dan memimpin penurunan di Jepang. Indeks Nikkei 225 tergelincir 1,6 persen seiring SoftBank melihat penurunan 1,2 persen. Di Australia, indeks ASX 200 terpangkas 0,55 persen seiring saham bank melemah.
Indeks Kospi susut 0,5 persen dan Kosdaq terpangkas 1,4 persen seiring selama akhir pekan dilaporkan pejabat Korea Selatan menyuarakan kekhawatiran volatilitas pasar yang lebih besar menjelang Silicon Valley Bank tutup.
Di China, Kongres akan diakhiri dengan konferensi pers oleh Perdana Menteri Li Qiang yang baru diangkat. Semalam, saham berjangka dari indeks utama Amerika Serikat melonjak setelah pengumuman backstop dengan indeks S&P 500 berjangka naik 1,18 persen dan indeks Nasdaq 100 berjangka bertambah 1,35 persen. Indeks Dow Jones berjangka naik 277 poin.
Advertisement