Ekonomi 2024 Masih Tak Mudah, Sri Mulyani Ungkap Biang Keroknya

Salah satu negara tetangga Indonesia, yaitu Brunei Darussalam menyampaikan betapa beratnya tekanan pada fiskal di masa pandemi. Tidak sampai di situ, kondisi geopolitik baru, yaitu perang Rusia Ukraina sejak Februari 2022 juga membebani pemullihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 06 Apr 2023, 13:50 WIB
Diterbitkan 06 Apr 2023, 13:50 WIB
Menteri keuangan Sri Mulyani
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, membeberkan tantangan dalam membuat arah kebijakan ekonomi makro 2024. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, membeberkan tantangan dalam membuat arah kebijakan ekonomi makro 2024. Sejak pandemi Covid-19, negara-negara di seluruh dunia menghadapi tantangan dalam mengelola ekonomi.

"Minggu lalu saya dalam pertemuan Menteri Keuangan ASEAN, semuanya saling bertukar catatan bagaimana situasi pandemi mengharuskan seluruh menteri keuangan merespon secara luar biasa dan memiliki implikasi fiskal yang tidak kecil, bahkan sangat signifikan," ungkap Sri Mulyani, dalam acara Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2023 yang disiarkan di laman Youtube Bappenas pada Kamis (6/4/2023).

Bahkan salah satu negara tetangga Indonesia, yaitu Brunei Darussalam menyampaikan betapa beratnya tekanan pada fiskal di masa pandemi. Tidak sampai di situ, kondisi geopolitik baru, yaitu perang Rusia Ukraina sejak Februari 2022 juga membebani pemullihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.

"Kita juga melihat konstelasi geopolitik menjadi semakin mengeras antara Amerika Serikat dengan RRT. Kenapa ini penting? karena ini bukan masalah politik maupun militer. Ini menjadi masalah geoeconomy. Konstelasi yang disebut supply chain globalisasi berubah. Sehingga banyak keputusan di level ekonomi dan di level perusahaan sangat dipengaruhi oleh konstelasi ini," bebernya.

Sri Mulyani memaparkan salah satu contoh, yaitu keputusan Inflation Reduction Acts atau IRA oleh AS yang berfokus menurunkan inflasi di negara itu. Namun konten dari legislasi itu untuk melakukan deglobalisasi, mengembalikan semua investasi ke AS sehingga tidak lagi bergantung pada negara ekonomi maju lainnya, yaitu China.

"Dua raksasa ekonomi akan sangat mempengaruhi bagaimana arus modal bergerak, karena tidak lagi ditetapkan oleh insentif ekonomi, namun juga insentif dari keamanan. Dengan situasi ini, maka seluruh perhitungan terhadap ketidakpastian menjadi berubah, geopolitik menjadi dominan," katanya.

Harga Komoditas

Hal itu salah satunya dengan lonjakan harga komoditas yang terimbas perang di Ukraina. Meski Indonesia merupakan salah satu pusat komoditas, naiknya harga batu bara dan gas menimbulkan implikasi.

"Harga cooking oil, CPO kita melonjak karena minyak goreng yang berasal dari biji bunga matahari yang diproduksi di Ukraina hilang atau tidak ada, sehingga permintaan minyak goreng kita melonjak tinggi. Jadi kita bisa lihat bagaimana perang dan geopolitik secara cepat mempengaruhi, dan kadang kadang dampaknya sangat terasa oleh masyarakat," imbuh Menkeu.

Adapun tantangan lainnya yaitu pengetatan moneter yang melambat tetapi suku bunga masih tinggi.

"Ketidakpastian inilah yang harus kita perhitungkan dalam merencanakan apa yang harus kita lakukan bahkan untuk tahun ini yang sedang berjalan juga perencanaan tahun depan," tambah Menkeu.

Bank Dunia Ramal Ekonomi Indonesia Tumbuh Lebih Stabil di 2023

Pecabutan PPKM untuk Genjot Ekonomi 2023
Sejumlah pekerja beraktivitas di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta, Kamis (5/1/2023). Pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dinilai untuk menggenjot ekonomi Indonesia 2023 yang diproyeksi suram akibat resesi global. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Bank Dunia memperkirakan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik (EAP) bakal tumbuh cukup baik di 2023 ini, termasuk Indonesia. Sebabnya adalah pembukaan kembali aktivitas ekonomi di China.

Mengacu rilis Bank Dunia, diperkirakan beberapa negara lain yang ada di kawasan ini akan mengalami pelambatan setelah menguat di tahun 2022 lalu.

Bank Dunia menulis, kinerja ekonomi di seluruh kawasan, meski kuat, dapat tertahan tahun ini oleh perlambatan pertumbuhan global, kenaikan harga komoditas, dan pengetatan keuangan sebagai tanggapan terhadap inflasi yang terus-menerus, menurut World Bank’s East Asia and Pacific April 2023 Economic Update.

“Sebagian besar negara utama di Asia Timur dan Pasifik telah melewati masa sulit selama pandemi tetapi kini mereka perlu menavigasi lanskap dunia yang berubah,” ujar Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Manuela V. Ferro, mengutip rilis resmi Bank Dunia, Jumat (31/3/2023).

“Guna mendapatkan kembali momentum, masih ada upaya-upaya yang perlu ditempuh untuk mendorong inovasi dan produktivitas, serta membangun landasan untuk pemulihan yang lebih hijau," sambungnya.

Di antara negara-negara yang lebih besar di kawasan ini, kebanyakan, termasuk Indonesia, Filipina, dan Vietnam, diprediksi akan memiliki laju pertumbuhan lebih moderat pada tahun 2023 dibandingkan tahun 2022. Sebagian besar Negara Kepulauan Pasifik diperkirakan tumbuh lebih cepat pada tahun 2023, tetapi laju perekonomian Fiji yang sangat cepat pada tahun 2022 kemungkinan akan berkurang.

Laju pertumbuhan di negara berkembang Asia Timur dan Pasifik diperkirakan akan meningkat menjadi 5,1 persen pada tahun 2023 dari 3,5 persen pada tahun 2022, karena pembukaan kembali Tiongkok membantu perekonomian untuk pulih ke 5,1 persen dari 3 persen tahun lalu.

Pertumbuhan ekonomi kawasan EAP kecuali Tiongkok diperkirakan akan melambat menjadi 4,9 persen dari pemulihan kuat pascaCOVID-19 sebesar 5,8 persen pada tahun 2022, karena inflasi dan peningkatan utang rumah tangga di beberapa negara membebani konsumsi.

Penurunan Kemiskinan

20161031-Penduduk-Indonesia-Jakarta-IA
Deretan rumah semi permanen di bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta (31/10). Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan saat ini terdapat 13,5 juta penduduk Indonesia yang hidup miskin di lingkungan kumuh. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebagian besar negara di kawasan EAP telah mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dan lebih stabil dibandingkan negara-negara di kawasan lain selama dua dekade terakhir. Hasilnya, terjadi penurunan kemiskinan yang signifikan dan, dalam dekade terakhir, penurunan ketimpangan.

Namun, pergerakan untuk mengejar tingkat pendapatan per kapita negara-negara maju telah terhenti dalam beberapa tahun terakhir karena pertumbuhan produktivitas dan laju reformasi struktural telah melambat. Mengatasi “kesenjangan reformasi” yang signifikan, terutama di sektor jasa, dapat memperbesar dampak revolusi digital dan mendorong produktivitas di berbagai sektor mulai dari ritel dan keuangan hingga pendidikan dan kesehatan.

Perekonomian kawasan juga harus mengatasi tiga tantangan penting seiring dengan upaya para pembuat kebijakan untuk mempertahankan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi pasca COVID-19. Ketegangan yang meningkat antar mitra dagang utama akan memengaruhi arus perdagangan, investasi, dan teknologi di seluruh kawasan.

Infografis Ekonomi RI Jauh Lebih Baik dari Negara Lain
Infografis Ekonomi RI Jauh Lebih Baik dari Negara Lain (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya