Liputan6.com, Jakarta Kelangkaan air dipandang sebagai permasalahan yang paling signifikan dan berpotensi paling berdampak dalam krisis iklim yang lebih luas.
Hal itu diungkapkan oleh CEO Council on Energy, Environment and Water, Arunabha Ghosh dalam acara Ecosperity Week di Singapura.
Dia menyebut, beberapa peneliti mengatakan bahwa negara-negara besar di Asia seperti India dan Tiongkok akan menjadi yang paling terkena dampak dari isu kekurangan air ini.
Advertisement
"Asia adalah pusat industrialisasi yang mengalami laju urbanisasi paling pesat, dan hal ini memerlukan banyak air,“ ujar Arunabha Ghosh, dikutip dari CNBC International, Jumat (15/9/2023).
“Bukan hanya industri lama seperti pembuatan baja, namun industri baru seperti pembuatan chip semikonduktor dan transisi ke energi ramah lingkungan akan membutuhkan banyak air,” jelasnya.
Permintaan air bersih global diperkirakan akan melebihi pasokan sebesar 40 persen hingga 50 persen pada tahun 2030.
Karena itu, Ghosh mengingatkan, kelangkaan air tidak boleh dipandang sebagai masalah sektoral, melainkan masalah yang melampaui perekonomian secara keseluruhan.
"Perekonomian Asia harus memahami bahwa hal ini merupakan kebaikan bersama di kawasan dan merupakan kepentingan mereka sendiri untuk memitigasi risiko yang mungkin terjadi guna mencegah guncangan ekonomi akibat kelangkaan air yang parah," katanya.
India, yang kini merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, diprediksi akan menjadi negara yang paling terkena dampak kelangkaan air.
Dengan penduduknya yang terdiri dari 18 persen populasi dunia, Bank Dunia mengungkapkan, India hanya mempunyai sumber daya air yang cukup untuk 4 persen penduduknya.
Hal ini menjadikan India sebagai negara yang paling rentan mengalami kekurangan air.
Negara di Asia Selatan juga sangat bergantung pada musim hujan untuk memenuhi kebutuhan air, namun [perubahan iklim](perubahan iklim "") telah menyebabkan lebih banyak banjir dan kekeringan.
Kerentanan di Tiongkok
Menurut lembaga pemikir independen Lowy Institute, sekitar 80 persen hingga 90 persen air tanah di Tiongkok tidak layak untuk dikonsumsi, sementara setengah dari akuifernya terlalu tercemar untuk digunakan untuk industri dan pertanian.
Ditemukan juga, 50 persen air sungainya juga tidak layak untuk diminum, dan separuhnya juga tidak aman untuk pertanian.
Meskipun negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu telah mencapai kemajuan dalam transisi energi ramah lingkungan, sistem ketenagalistrikan mereka masih sangat bergantung pada batu bara. Dan jika tidak ada air maka tidak akan ada batu bara.
"Air merupakan masukan penting untuk pembangkitan pembangkit listrik tenaga batu bara, dan jika air menjadi langka atau tidak tersedia untuk pembangkit listrik, pembangkit listrik tersebut menjadi tidak efektif," Ghosh menekankan.
Negara-negara berkembang lainnya di kawasan ini juga mengalami situasi serupa, namun krisis air di negara mereka mungkin lebih sulit diatasi.
Advertisement
Dekat dengan Sungai dan Laut
Selain itu, India dan Tiongkok juga berlokasi dekat dengan laut dan sungai. Hal ini memungkinkan kedua negara lebih rentan oleh naiknya permukaan air laut, namun mereka mampu membeli teknologi dan inovasi untuk sistem penyimpanan air yang lebih baik, kata Shanshan Wang, pemimpin bisnis air Singapura di konsultan keberlanjutan Arup.
Sementara itu, Wayne Middleton, pemimpin bisnis air Arup di Australasia mengatakan bahwa “kita harus angkat tangan dan mengatakan bahwa kita belum menyadari nilai dari sistem sungai kita dan telah mengeksploitasinya untuk keperluan industri dan pertanian.”
Adapun masalah air di Eropa yang juga diperkirakan akan bertambah buruk karena sumber daya semakin langka akibat darurat iklim yang semakin parah. Wilayah ini mengalami suhu yang sangat tinggi pada musim semi, setelah mengalami gelombang panas musim dingin yang berdampak buruk pada sungai dan lereng ski.