Liputan6.com, Jakarta - Ketika perekonomian Tiongkok melambat, mesin utama pertumbuhan Asia-Pasifik diperkirakan akan beralih ke kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Hal itu diungkapkan oleh lembaga pemeringkat S&P Global.
Baca Juga
Melansir CNBC International, Jumat (1/12/2023) S&P memperkirakan ekonomi India akan semakin menguat dalam tiga tahun ke depan, memimpin pertumbuhan di kawasan Asia-Pasifik.
Advertisement
S&P meramal, PDB India untuk kuartal pertama 2024 diperkirakan mencapai 6,4 persen, lebih tinggi dari perkiraan mereka sebelumnya sebesar 6 persen.
S&P mengaitkan perubahan ini dengan peningkatan konsumsi domestik India yang menyeimbangkan inflasi pangan yang tinggi dan aktivitas ekspor yang buruk.
Demikian pula, negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina diperkirakan akan mengalami pertumbuhan PDB yang positif pada tahun ini dan tahun depan karena kuatnya permintaan domestik.
Namun, S&P menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi India menjadi 6,5 persen pada tahun fiskal 2025, turun dari prediksi mereka sebelumnya sebesar 6,9 persen.
Ekonomi India diperkirakan akan naik kembali menjadi 7 persen pada tahun fiskal 2026.
Sebagai perbandingan, pertumbuhan Tiongkok diperkirakan sebesar 5,4 oersen pada tahun 2023, 0,6 persen lebih tinggi dari perkiraan S&P sebelumnya.
Sementara pertumbuhan pada tahun 2024 diperkirakan sebesar 4,6 persen, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,4 persen.
"Persetujuan Tiongkok baru-baru ini terhadap penerbitan obligasi negara senilai 1 triliun renminbi Tiongkok (RMB) dan tunjangan bagi pemerintah daerah untuk memenuhi sebagian kuota obligasi tahun 2024, berkontribusi terhadap perkiraan pertumbuhan PDB riil kami," kata S&P dalam catatannya.
Sektor Real Estat
Namun, S&P memperingatkan bahwa gejolak di sektor real estat Tiongkok akan terus menjadi ancaman bagi perekonomiannya.
"Permintaan terhadap properti baru masih lesu, sehingga mempengaruhi arus kas pengembang dan penjualan lahan," kata Eunice Tan, kepala penelitian kredit Asia-Pasifik di S&P Global.
"Di tengah terbatasnya likuiditas, kendaraan pembiayaan pemerintah daerah (LGFV) yang memiliki banyak utang dapat menyebabkan tekanan kredit semakin meningkat dan berdampak pada posisi permodalan bank-bank Tiongkok," jelasnya.
Dampak Konflik Israel-Hamas
Terlepas dari optimisme S&P di Asia-Pasifik, guncangan energi akibat konflik Israel-Hamas dan risiko penurunan ekonomi AS menyebabkan lembaga S&P menurunkan perkiraannya untuk wilayah tersebut (tidak termasuk Tiongkok) tahun depan menjadi 4,2 persen dari 4,4 persen.
Advertisement
Target Pertumbuhan Ekonomi Tinggi Jadi Tantangan Transisi Energi Indonesia
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkap proses transisi energi Indonesia penuh tantangan. Utamanya soal peralihan energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).
Dia mencoba membandingkan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diramal terus positif kedepannya. Jika demikian, artinya kebutuhan akan energi pun ikut bertambah.
"Energi adalah sektor yang paling menantang, karena ketika Indonesia melanjutkan pertumbuhan lenih tinggi, artinya juga permintaan akan energi akan ikut meningkat," kata Sri Mulyani dalam Indonesia-Europe Investment Summit 2023, di St Regis, Jakarta, Kamis (30/11/2023).
Bendahara Negara mengatakan, poin yang perlu diperhatikan serius adalah pada penggunaan energi kedepannya. Pada konteks transisi energi, berarti perlu memperhatikan emisi karbon dari proses produksi energi tadi.
"Tapi bagaimana anda bisa mengimbangi peningkatan permintaan energi tersebut tanpa memperhatikan juga pengurangan emisi karbon dari prosesnya. Jadi kita harus mentransisi energinya, dan Indonesia punya pilihan, ini bagus tapi juga menantang," tegasnya.
Sri Mulyani bilang, Indonesia dihadapkan pada 2 pilihan. Pertama, tetap menggunakan energi fosil seperti saat ini dengan minimnya tantangan. Kedua, memulai transisi energi ke EBT dengan sejumlah tantangan besar yang perlu diselesaikan.
"Ada pilihan lainnya seperti energi terbarukan yang lebih kompleks dan membutuhkan dana yang tak sedikit hingga kebijakan yang harus diselesaikan. Ini jadi yang paling penting kedepannya," ucap Menkeu Sri Mulyani.