Bank Sentral China Melonggarkan Kebijakan demi Ekonomi Melesat

China akan melonggarkan syarat rasio cadangan bank pada Februari 2024 untuk mendukung ekonomi.

oleh Agustina Melani diperbarui 24 Jan 2024, 16:35 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2024, 16:34 WIB
Bank Sentral China Melonggarkan Kebijakan demi Ekonomi Melesat
China berjanji mengurangi jumlah likuiditas yang harus dimiliki bank sebagai cadangan awal bulan depan. Hal ini sebagai upaya mengatasi ekonomi yang sulit. (AP/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta - China berjanji mengurangi jumlah likuiditas yang harus dimiliki bank sebagai cadangan awal bulan depan. Hal ini sebagai upaya mengatasi ekonomi yang sulit.

Dikutip dari CNBC, Rabu (24/1/2024), syarat rasio cadangan bank akan dipangkas 50 basis poin mulai 5 Februari. Gubernur People Bank of China (PBOC) atau Bank Sentral China Pan Gongsheng menuturkan, hal itu akan sediakan 1 triliun yuan atau USD 139,8 miliar modal jangka panjang.

Ini merupakan pengurangan pertama untuk cadangan wajib minimum pada 2024, setelah dua kali pemotongan pada tahun lalu. PBOC juga mengatakan ada ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut.

Mengurangi persyaratan cadangan yang harus dipertahankan oleh bank akan meningkatkan kapasitas pemberi pinjaman untuk memberikan pinjaman dan memacu pengeluaran untuk ekonomi yang lebih luas.

Data yang dirilis pekan lalu menunjukkan ekonomi terbesar kedua di dunia ini tumbuh 5,2 persen pada 2023, sejalan dengan proyeksi resmi. Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal IV juga mencapai 5,2 persen, tetapi sedikit di bawah harapan median ekonom. Pemulihan ekonomi setelah COVID-19 berjalan lamban, dan pemimpin tertinggi China memperingatkan pemulihan akan berliku-liku.

Beijing sedang berupaya untuk meningkatkan pertumbuhan dengan cara yang tepat sasaran, sembari merancang pengurangan utang pada sektor real estate yang membengkak. Beberapa pengembang terbesarnya menghadapi masalah utang yang serius. Hal ini telah meningkatkan risiko keuangan dan mengguncang kepercayaan konsumen.

China berjanji pada Senin, 22 Januari 2024 untuk memperkuat stabilitas pasar di tengah kemerosotan pasar saham.

Bursa Saham China Catat Kinerja Buruk Sejak 2016

Pasar Saham di Asia Turun Imbas Wabah Virus Corona
Seorang wanita berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Sebelumnya diberitakan, bursa saham China alami masa sulit pada 2023 dan koreksi yang terjadi berlanjut dalam beberapa minggu pertama 2024. Hal ini setelah China memupuskan harapan akan berbuat lebih banyak mendukung ekonomi yang sedang sulit.

Dikutip dari CNN, Selasa (23/1/2024), indeks Hang Seng di Hong Kong turun 2,3 persen pada perdagangan Senin, 22 Januari 2024 hingga ditutup ke level terendah sejak Oktober 2022. Indeks Hang Seng tersebut merosot lebih dari 12 sepanjang Januari, hampir sama dengan penurunan pada 2023.

Indeks Shanghai anjlok 2,7 persen, penurunan harian terbesar sejak April 2022. Indeks Shenzhen yang merupakan tolok ukur teknologi alami kinerja terburuk dalam hampir dua tahun dengan terbenam 3,5 persen.

Indeks telah merosot masing-masing 4,8 persen dan 7,7 persen pada hari perdagangan pertama 2024. Ini adalah awal tahun terburuk bagi saham China sejak 2016, ketika investor melepaskan kepemilikannya menyusul jatuhnya pasar pada 2015.

Gelembung muncul ketika perekonomian menunjukkan tanda-tanda ketegangan dan harga saham jauh melampaui keuntungan.

Dalam beberapa bulan terakhir, krisis real estate, pertumbuhan paling lambat di luar pandemi COVID-19 dalam beberapa dekade, dan tindakan keras terhadap beberapa bisnis telah melemahkan kepercayaan investor.

Chief Asian Foreign Exchange Strategist Mizuho Bank, Ken Cheung menuturkan, investor asing terus mengurangi eksposur risikonya ke China dan memiliki ekspektasi bearish terhadap kondisi bisnis di negara tersebut.

“Pemerintah China belum menerapkan langkah-langkah efektif untuk menyelesaikan gejolak properti dan mendorong pemulihan ekonomi,” tulis Ken Cheung.

Investor kecewa pada Senin, 22 Januari 2024 setelah bank sentral China memutuskan mempertahankan suku bunga pinjaman. Pemangkasan suku bunga akan menurunkan biaya pinjaman bagi masyarakat dan dunia usaha yang mengambil pinjaman atau membayar bunga. Oleh karena itu membantu merangsang kegiatan ekonomi.

 

 

Berlawanan dengan Bursa Saham Global

Ilustrasi wall street (Photo by Robb Miller on Unsplash)
Ilustrasi wall street (Photo by Robb Miller on Unsplash)

Koreksi pasar yang besar pada 2024 terjadi setelah kinerja buruk tahun lalu, saat indeks CSI 300 yang terdiri dari 300 saham utama yang terdaftar di Shanghai dan Shenzhen turun lebih dari 11 persen.

Sebaliknya indeks acuan S&P 500 di Amerika Serikat melonjak 24 persen pada 2023. Sedangkan indeks di Eropa tumbuh hampir 13 persen. Indeks Nikkei 225 Jepang melesat 28 persen tahun lalu dan masih menguat. Pada Januari 2024, indeks Nikkei mencatat kenaikan hampir 10 persen sepanjang Januari 2024.

Data demografi yang dirilis Rabu pekan lalu mengonfirmasi populasi China semakin tua dan menyusut tidak membantu meredakan kekhawatiran investor.

Mereka juga gelisah karena pidato yang disampaikan oleh Perdana Menteri China Li Qiang pekan lalu di Forum Ekonomi Dunia tidak menyebutkan langkah-langkah stimulus baru pemerintah untuk membantu memulihkan ekonomi negara yang sedang lesu.

Analis ANZ Research, Brian Martin & Daniel Hynes menyebutkan dalam risetnya pada Jumat, 19 Januari 2024 kalau pidato Li telah “memupuskan” harapan akan langkah-langkah dukungan lebih lanjut.

“(Dia) mengumandangkan kemampuan negara-negara untuk mencapai target pertumbuhan 5 persen tanpa membanjiri ekonomi dengan stimulus besar-besaran,” tulis analis tersebut.

 

Terbitkan Obligasi

Ilustrasi Obligasi
Ilustrasi Obligasi (Photo created by rawpixel.com on Freepik)

Dalam beberapa bulan terakhir, China telah menerbitkan obligasi pemerintah senilai USD 137 miliar atau sekitar Rp 2.145,10 triliun (asumsi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.657).

Dana penerbitan obligasi itu sebagian besar akan mendanai proyek infrastruktur, sementara dana kekayaan negara China telah membeli saham untuk mendukung pasar saham yang lesu.

Investor yang Lelah

Pidato Li tampaknya memberikan pukulan lain bagi investor yang sudah lelah dengan serangkaian data ekonomi yang mengecewakan dari Beijing, termasuk krisis yang sedang berlangsung di sektor real estate dan menyusutnya populasi dengan cepat.

Ekonomi negara itu tumbuh 5,2 persen tahun lalu. Angka ini mengalahkan proyeksi pemerintah tetapi masih merupakan salah satu kinerja ekonomi terburuk China lebih dari tiga dekade.

The International Monetary Fund (IMF) prediksi pertumbuhan ekonomi China akan melambat menjadi 4,2 persen pada 2024.

Pada 2023, investor sangat menantikan pemulihan ekonomi China menyusul keputusan Beijing untuk membatalkan kebijakan ketat nol COVID-19 pada akhir tahun sebelumnya.

Pemulihan yang kuat tidak pernah terjadi dan investor memberikan suara mereka sendiri. Menurut Kementerian Perdagangan China, investasi asing langsung ke China turun 8 persen pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya.

 

Meyakinkan Investor Asing

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis David Haubner (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok karena investor menunggu langkah agresif pemerintah AS atas kejatuhan ekonomi akibat virus corona COVID-19. (AP Photo/Richard Drew)

Investor juga menolak keras tindakan keras Beijing terhadap perusahaan swasta yang dimulai pada akhir 2020 dan mencakup denda terhadap perusahaan asing dan menahan karyawannya atas nama keamanan nasional.

Dalam pidatonya pada 16 Januari, Li mencoba meyakinkan investor asing kalau China menghadirkan bukan sebuah risiko melainkan sebuah peluang dan berjanji untuk menciptakan lingkungan kelas dunia bagi perusahaan asing untuk melakukan bisnis di China.

Dia mencatat, jumlah orang yang tergolong berpendapatan menengah di China akan meningkat dua kali lipat menjadi 800 juta pada dekade berikutnya. “Momentuk konsumsi sangat kuat,” ujar dia.

Managing Partner SPI Asset Management, Stephen Innes menuturkan, investor yang bersedia mengambil risiko dalam situasi genting di China perlu ketahui risikonya atau mungkin berada dalam kondisi keuangan yang tidak dapat diprediksi dan otoriter.

“Kesuksesan bergantung pada pembelian saham yang menghindari pengawasan pemerintah menjadikan seluruh proses investasi lebih mirip permainan untung-untungan daripada proses pengambilan keputusan,” ia menambahkan.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya