YLKI Usul Indonesia Tiru Sistem Kerja 4 Hari Jerman: Warga Lebih Bahagia dan Produktif

YLKI usul sistem kerja 4 hari tersebut bisa diujicoba di wilayah Jabodetabek, yang saat ini masih jadi patron dari kegiatan dan ekonomi di lingkup nasional.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 09 Feb 2024, 15:00 WIB
Diterbitkan 09 Feb 2024, 15:00 WIB
Suasana Jam Pulang Kantor Pekerja di Jakarta
Sejumlah orang berjalan di trotoar pada saat jam pulang kantor di Kawasan Sudirman, Jakarta. YLKI mengusulkan agar pemerintah menerapkan sistem kerja yang dipakai Jerman. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengusulkan agar pemerintah menerapkan sistem kerja yang dipakai Jerman, yakni 4 hari dalam 7 hari atau sepekan.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, sistem kerja 3 hari libur tersebut telah ditetapkan Jerman mulai 1 Februari 2024. Menurut dia, kebijakan 4 hari kerja bisa mendongkrak produktivitas para pekerja.

"Per 1/2/2024, Jerman menerapkan uji coba sistem 4 hari kerja. Tujuannya agar pekerja lebih bahagia dan produktif," tulis Tulus dalam status WhatsApp miliknya, Jumat (9/2/2024).

Tulus lantas mengusulkan agar sistem kerja 4 hari tersebut bisa diujicoba di wilayah Jabodetabek, yang saat ini masih jadi patron dari kegiatan dan ekonomi di lingkup nasional.

"Bagaimana kalau hal serupa juga diterapkan di Jakarta, dan Bodetabek?" usul dia.

Menurut pertimbangannya, penambahan waktu libur kerja 1 hari itu juga bakal turut berkontribusi terhadap angka penyebaran polusi di Jabodetabek. Sekaligus memberi waktu lebih banyak bagi para pekerja asal daerah untuk bisa pulang ke kampung halamannya masing-masing.

"Bukan hanya agar warganya lebih bahagia dan produktif, tapi juga lingkungan di Jakarta dan Bodetabek agar beristirahat sejenak dari eksploitasi dan polusi (udara, suara, air, tanah)," ungkapnya.

"Karena warganya akan otw pulkam, wisata, mudik, dan lain-lain. Setuju?" pungkas Tulus.

Studi: Waktu Kerja 4 Hari dalam Seminggu Buat Pekerja Lebih Produktif

Suasana Jam Pulang Kantor Pekerja di Jakarta
Petugas mengukur suhu tubuh calon penumpang sebelum memasuki stasiun Sudirman saat jam pulang kantor di Jakarta, Senin (8/6/2020). Aktivitas perkantoran dimulai kembali pada pekan kedua penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kebanyakan orang memiliki waktu kerja lima hari dalam seminggu. Lantas apakah waktu kerja tradisional tersebut benar-benar berhasil untuk kita? Semakin banyak bukti menumpuk untuk mengatakan tidak.

Argumen yang mendukung empat hari seminggu atau pengurangan jam kerja (bekerja jam 9 pagi hingga 2 siang misalnya) cenderung berfokus pada manfaat dari cara kerja ini. 

Dilansir dari Stylist, penelitian telah menemukan bahwa waktu kerja empat hari seminggu bermanfaat bagi kesehatan fisik Anda, dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi hari sakit yang diambil. 

Uji coba empat hari seminggu menunjukkan tingkat stres dan kelelahan yang lebih rendah, dan pekerja melaporkan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik.

Tetapi penelitian baru melihat sebaliknya dampak negatif dari tidak mengurangi jam kerja kita dan terus bekerja keras dengan model kerja standar 9-5, lima hari seminggu.

Riset dari Texas A&M University mengonfirmasi apa yang selama ini kita duga benar. Produktivitas kita menurun menjelang penghujung hari dan di akhir setiap minggu. 

Pasca makan siang, energi kita mulai berkurang, dan terlebih lagi, kita cenderung membuat kesalahan dalam bekerja. Dan waktu terburuk dalam hal produktivitas dan kesalahan, adalah Jumat sore. Hal ini menunjukkan bahwa bekerja keras sepanjang hari selama lima hari seminggu mungkin bukanlah jalan untuk mendapatkan pekerjaan terbaik kita. 

Menyesuaikan waktu kita dengan saat kita benar-benar lebih baik dalam pekerjaan kita, apakah itu berarti libur pada hari Jumat atau hanya bekerja di pagi hari tampaknya merupakan pendekatan yang jauh lebih cerdas.

Tingkat produktivitas menurun di Jumat sore

Suasana Jam Pulang Kantor Pekerja di Jakarta
Antrean calon penumpang memasuki stasiun Sudirman saat jam pulang kantor di Jakarta, Senin (8/6/2020). Aktivitas perkantoran dimulai kembali pada pekan kedua penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Studi tersebut melacak komputer dari 789 pekerja kantoran di sebuah perusahaan energi selama dua tahun, melihat ukuran seperti kecepatan mengetik, jumlah kesalahan ketik yang dibuat, dan aktivitas mouse. 

Mereka menemukan bahwa secara keseluruhan, orang mengetik lebih banyak dan melakukan lebih banyak gerakan mouse dari Senin hingga Kamis, terutama di pagi hari. Di sore hari setiap hari, statistik ini turun, sementara kesalahan ketik meningkat. 

Dan hari Jumat sepanjang hari, tetapi terlebih lagi pada hari Jumat sore adalah yang paling parah terkena dampaknya. Salah satu peneliti utama, Dr Taehyun Roh, mengatakan, “Karyawan kurang aktif di sore hari dan membuat lebih banyak kesalahan ketik di sore hari terutama pada hari Jumat. Ini sejalan dengan temuan serupa bahwa jumlah tugas yang diselesaikan pekerja terus meningkat dari Senin hingga Rabu, kemudian menurun pada Kamis dan Jumat.”

Jika kita secara konsisten melakukan lebih sedikit pekerjaan atau pekerjaan dengan kualitas lebih rendah setiap hari Jumat, apa ruginya hanya dengan membolos hari itu dan memulai akhir pekan lebih awal? 

Pengurangan waktu kerja dinilai lebih efektif

Suasana Jam Pulang Kantor Pekerja di Jakarta
Antrean calon penumpang memasuki stasiun Sudirman saat jam pulang kantor di Jakarta, Senin (8/6/2020). Aktivitas perkantoran dimulai kembali pada pekan kedua penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Uji coba empat hari seminggu tidak menemukan penurunan produktivitas sebagai akibat dari gaya kerja ini, dan penelitian baru ini memberikan dukungan lebih lanjut pada gagasan bahwa kita mungkin akan menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dengan mempersingkat jam kerja kita.

“Penelitian lain telah menemukan bahwa mereka yang bekerja dari rumah atau bekerja lebih sedikit memiliki lebih sedikit stres karena perjalanan, politik tempat kerja dan faktor lainnya, dan dengan demikian memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi,” kata peneliti lainnya. 

“Pengaturan ini memberi pekerja lebih banyak waktu bersama keluarga mereka dan dengan demikian mengurangi konflik pekerjaan-keluarga, dan juga memberi mereka lebih banyak waktu untuk olahraga dan aktivitas rekreasi, yang telah terbukti meningkatkan kesehatan fisik dan mental.”

Ingin memiliki tingkat stres lebih rendah, lebih produktif, lebih banyak kebahagiaan, dan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik? Itu semua bisa dilakukan dengan menambah pengurangan waktu kita di tempat kerja.

Infografis Journal
Infografis Adu Nasib Pekerja Kota Penyangga Jakarta (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya