Pengamat Soroti Masalah Ini Terkait RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan

Skema power wheeling tidak dapat masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

oleh Septian Deny diperbarui 04 Agu 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2024, 20:00 WIB
PT PLN (Persero) memastikan tarif tenaga listrik pada Oktober - Desember 2022 tetap, yaitu sama dengan tarif tenaga listrik Juli - September 2022. (Dok PLN)
PT PLN (Persero) memastikan tarif tenaga listrik pada Oktober - Desember 2022 tetap, yaitu sama dengan tarif tenaga listrik Juli - September 2022. Skema power wheeling tidak dapat masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. (Dok PLN)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bachtiar menilai skema power wheeling tidak dapat masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan menyoroti pembahasannya yang tidak transparan.

 

“Ada beberapa hal dalam RUU EBET yang berisiko memberikan dampak negatif bagi negara dan masyarakat karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” katanya dikutip Minggu (4/8/2024).

Dalam pasal 33 itu, paparnya, sektor ketenagalistrikan masih dianggap sebagai salah satu cabang produksi yang dikuasai negara. Bahkan Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan hal itu dan menolak klausul power wheeling yang sempat masuk dalam dalam UU No. 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. UU No. 20 tersebut dianggap telah mereduksi makna dikuasai oleh negara untuk cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana dimaksud pasal 33 ayat 2 UUD 1945.

“Dengan demikian, usaha ketenagalistrikan harus dikuasai negara dengan cara mengelola, mengatur, mengambil kebijakan, mengurus hingga memberikan pengawasan,” kata Bisman.

Selain itu, paparnya, pemerintah dan DPR juga harus menjamin prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama pembahasan RUU EBET. DPR dan pemerintah harus menjamin azas-azas transparansi keterbukaan, demokrasi dan partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan UU EBET. Dalam penyusunan, kata Bisman, seharusnya DPR dan pemerintah harus menyelesaikan syarat formil pembentukan undang-undang.

“Mulai paparan ke publik, menerima masukan hingga pembahasan harus dibuka secara gamblang. Tidak dilakukan secara tertutup di hotel-hotel. Penyusunan RUU EBET menjadi tidak transparan," ungkapnya.

Dengan tidak adanya transparansi, Bisman menyebut skema power wheeling telah menyusup ke RUU EBET dan menjadi pintu masuk kembalinya sistem pengusahaan unbundling yang mengarah kepada privatisasi, kompetisi dan liberalisasi ketenagalistrikan.

“Sekali lagi, power wheeling tidak bisa diterapkan dalam RUU EBET. Pengaturan power wheeling dalam RUU EBET merupakan pintu masuk untuk kembali ke sistem pengusahaan unbundling yang akan mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan,” kata Bisman.

RUU Energi Baru Terbarukan Belum Rampung pada 2024, Ada Apa?

ESDM
PLTB ini bisa mengaliri listrik 360 ribu pelanggan 450 KV. Proyek ini bagian dari proyek percepatan pembangunan pembangkit 35.000 MW, sekaligus bagian dari upaya Pemerintah mencapai target bauran energi nasional 23 persen dari EBT pada 2025.

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto perkirakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) atau RUU EBET tidak dapat disahkan dalam masa sidang DPR periode sekarang. 

Mulyanto yang juga anggota Panja RUU EBET pesimistis RUU tersebut dapat diselesaikan tahun ini, karena relatif berjalan lambat dan alot, khususnya terkait dengan pasal power wheeling.

"Jangankan disahkan di tingkat Paripurna DPR RI, tahap pengambilan keputusan di tingkat I Pleno Komisi VII saja belum," kata Mulyanto dalam Seminar IRESS di Senayan, dikutip Minggu (4/8/2024).

Terkait substansi, menurut Mulyanto, Fraksi PKS sendiri menolak dimasukkannya aturan power wheeling dalam RUU EBET tersebut. Aturan tersebut membolehkan pihak pembangkit swasta untuk menjual listrik EBET yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat dengan menyewa jaringan transmisi/distribusi milik Negara.

"Norma ini secara langsung akan mereduksi peran PLN," ujar Mulyanto.

 

Penjualan Listrik

(Foto: PLN UP 3 Pasuruan)
Petugas perbaiki tiang listrik di Bundaran Apolo, Pasuruan, Jawa Timur (Foto: PLN UP 3 Pasuruan)

Ia menegaskan penolakan ini soal prinsip, karena bertabrakan dengan norma yang telah ada, pihak swasta tidak dapat menjual listrik yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat.  Sebab listrik dikuasai negara dan pengusahaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara/daerah.

PLN adalah single buyer listrik dari pembangkit yang ada, sekaligus menjadi single seller listrik kepada para pengguna. Ini adalah prinsip monopoli negara atas sektor kelistrikan sebagai amanat konstitusi agar listrik tidak dikuasai orang-perorang, yang akhirnya harganya ditentukan oleh mekanisme pasar.  

"Menjadikan pihak swasta dapat menjual listrik yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat, jelas-jelas adalah liberalisasi sektor kelistrikan," tegasnya. 

Untuk diketahui DIM Pemerintah terkait power wheeling dalam pasal 24A ayat (2) adalah Pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari Energi Baru/Energi Terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik yang memprioritaskan Energi Baru/Energi Terbarukan dan dapat dilakukan dengan pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan/atau jaringan distribusi melalui mekanisme sewa jaringan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya