Nelayan Masih Tak Paham Energi Baru Terbarukan, Kok Bisa?

Implementasi energi baru terbarukan (EBT) masih belum familiar di kalangan nelayan kecil.

oleh Arief Rahman H diperbarui 29 Agu 2024, 16:00 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2024, 16:00 WIB
SPBU Terapung Pertamina
BBM subsidi dijual kepada nelayan yang mendapatkan rekomendasi dari lurah maupun Suku Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Perikanan (KPKP) Kepulauan Seribu. (merdeka.com/Imam Buhori)

 

Liputan6.com, Jakarta Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyadari dampak emisi yang dihasilkan dari bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan oleh nelayan tradisional. Namun, implementasi energi baru terbarukan (EBT) masih belum familiar di kalangan nelayan kecil.

Ketua Umum KNTI, Dani Setiawan, mengatakan bahwa penggunaan BBM fosil turut menyumbang masalah lingkungan. Oleh karena itu, opsi penggunaan energi bersih bagi nelayan kecil bisa menjadi salah satu solusinya.

"Penggunaan energi fosil menyebabkan masalah lingkungan yang cukup besar. Kami, sebagai organisasi nelayan kecil, perlu melihat opsi yang bisa diambil oleh nelayan kecil dan pemerintah," ujar Dani dalam diskusi KNTI di Jakarta, Kamis (29/8/2024).

"Bagaimana nelayan kecil mulai memahami cara beradaptasi di tengah situasi ketidakpastian ini, akibat kebijakan BBM dan perubahan iklim yang semakin besar, untuk melihat energi baru terbarukan ini sebagai sesuatu yang penting," tambahnya.

Banyak Nelayan Tak Paham

Sayangnya, menurut Dani, masih banyak nelayan kecil yang belum memahami konsep penggunaan energi bersih di kapal tradisional mereka. Hal ini terungkap dari penelitian KNTI mengenai persepsi nelayan terhadap implementasi EBT pada tahun 2023 lalu.

"Tahun lalu kami memulai pembelajaran ini, melalui studi lapangan yang kami rekam, untuk melihat sejauh mana nelayan kecil memahami konsep energi baru terbarukan," jelasnya.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa mayoritas nelayan tidak mengetahui konsep EBT tersebut, apalagi bagaimana cara memanfaatkannya dalam kegiatan penangkapan ikan di laut.

"Mayoritas nelayan kecil belum tahu mengenai energi baru terbarukan, apalagi tentang implementasinya. Belum lagi menerapkannya sebagai opsi alternatif untuk operasi penangkapan ikan di laut," tambahnya.

 

Minta Pemerintah Jalankan Reforma Agraria di Pesisir

SOLUSI Nelayan menjadi salah satu cara jitu penyaluran BBM yang lebih tepat sasaran. Tercatat, melalui program ini telah disalurkan lebih dari 113 ribu liter BBM untuk kebutuhan melaut dan mencari ikan.
SOLUSI Nelayan menjadi salah satu cara jitu penyaluran BBM yang lebih tepat sasaran. Tercatat, melalui program ini telah disalurkan lebih dari 113 ribu liter BBM untuk kebutuhan melaut dan mencari ikan.

Sebelumnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak pemerintah untuk melaksanakan Reforma Agraria (RA) di wilayah pesisir dan laut, mengingat ini merupakan hal yang krusial untuk meningkatkan taraf hidup nelayan.

Hal ini disampaikan dalam diskusi bulanan KNTI tentang "Keamanan Tenurial dan Pembangunan Sosial bagi Nelayan Kecil dan Tradisional di Indonesia".

Ketua Umum KNTI, Dani Setiawan, menekankan bahwa perlindungan tenurial nelayan, baik di darat maupun di laut, menjadi hal yang sangat penting untuk keberlanjutan usaha perikanan skala kecil.

"Tanpa laut dan pesisir, tidak akan ada nelayan. Jika nelayan terpinggirkan dari wilayah pesisir, maka akan berdampak langsung pada masalah lain, seperti pemenuhan kebutuhan hidup keluarga nelayan, pelanggaran HAM, serta ancaman terhadap kedaulatan pangan,” ujar Dani, dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (26/7/2024).

 

Aturan Masih Bias

Kuota Solar Bersubsidi untuk Nelayan
Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)memastikan nelayan akan mendapat kuota bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis solar 3,4 juta kl di 2023. Sedangkan, Pertamina memastikan harga solar subsidi Rp6.500 per liter untuk semua SPBU. (merdeka.com/Imam Buhori)

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Sartika, menjelaskan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) tentang Reforma Agraria (RA) masih sangat bias terhadap daratan.

"Ketika kita berbicara tentang tanah sebagai objek RA, seolah masyarakat hanya berurusan dengan tanah saja dan tidak ada akses ke laut serta wilayah tangkap. Kita tidak hanya membicarakan tentang pemukiman nelayan tetapi juga akses ke laut yang sekarang banyak diprivatisasi oleh para pemilik modal," jelas Dewi.

Dewi menambahkan, meskipun Perpres RA No. 62 Tahun 2023 sudah mengafirmasi berbagai kelompok masyarakat dan menjadikannya subjek hukum RA, termasuk nelayan kecil dan tradisional, masalahnya adalah objeknya masih bias terhadap daratan.

"Sayangnya, Indonesia masih belum memiliki rencana tata guna tanah yang komprehensif secara nasional untuk mengatur persentase tanah yang digunakan untuk industri, pemukiman, wilayah adat, dan lainnya," ungkap Dewi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya