Karyawan Firma Akuntansi Terkemuka Meninggal Usai 4 Bulan Bergabung, Tekanan Kerja Jadi Perdebatan

Pihak Ernst & Young membantah tuduhan bahwa tekanan kerja menyebabkan seorang karyawan meninggal. Perusahaan mengatakan pekerja baru diberi pekerjaan seperti karyawan lainnya dan tidak percaya bahwa tekanan kerja dapat merenggut nyawanya.

oleh Satrya Bima Pramudatama diperbarui 27 Sep 2024, 10:40 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2024, 10:40 WIB
Ilustrasi bendera India. (Unsplash/Aniyora J)
Ilustrasi bendera India. (Unsplash/Aniyora J)

Liputan6.com, Jakarta - Kematian tragis seorang karyawan India berusia 26 tahun di sebuah firma akuntansi terkemuka telah memicu perdebatan serius tentang budaya tempat kerja dan kesejahteraan karyawan di lingkungan perusahaan.

Dikutip dari BBC pada Jumat (27/09/2024), seorang akuntan berlisensi di Ernst & Young (EY), Anna Sebastian Perayil, meninggal dunia pada Juli kemarin, empat bulan setelah dia bergabung dengan firma tersebut.

Orang tua Anna Sebastian Perayil menuduh bahwa tekanan kerja yang luar biasa di kantor barunya berdampak buruk pada kesehatan.

Pihak Ernst & Young telah membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa Perayil diberi pekerjaan seperti karyawan lainnya dan tidak percaya bahwa tekanan kerja dapat merenggut nyawa.

Kematiannya telah bergema dalam memicu diskusi tentang budaya kerja keras yang dipromosikan oleh banyak perusahaan termasuk perusahaan rintisan. Sebuah etos kerja yang memprioritaskan produktivitas, sering kali dengan mengorbankan kesejahteraan karyawan.

Beberapa berpendapat bahwa budaya ini mendorong inovasi dan pertumbuhan, dengan banyak yang memilih jam kerja tambahan karena hasrat atau ambisi. Pihak lain mengatakan bahwa karyawan sering ditekan oleh manajemen, yang menyebabkan kelelahan dan kualitas hidup yang menurun.

Kematian Perayil juga menjadi sorotan setelah sepucuk surat yang ditulis oleh ibunya, Anita Augustine, kepada Ernst & Young menjadi viral di media sosial minggu lalu.

Dalam surat tersebut, ia merinci dugaan tekanan yang dialami putrinya di tempat kerja, termasuk bekerja hingga larut malam dan di akhir pekan, dan mengimbau Ernst & Young untuk "merefleksikan budaya kerjanya" dan mengambil langkah-langkah untuk memprioritaskan kesehatan karyawannya.

Kerja yang Berlebihan

"Pengalaman Anna menyoroti budaya kerja yang tampaknya mengagungkan kerja berlebihan sambil mengabaikan manusia di balik peran tersebut," tulis Anita. "Tuntutan yang tak henti-hentinya dan tekanan untuk memenuhi harapan yang tidak realistis tidak berkelanjutan, dan hal itu merenggut nyawa seorang wanita muda dengan begitu banyak potensi" Tegasnya.

Banyak orang mengecam Ernst & Young atas "budaya kerjanya yang beracun", berbagi pengalaman mereka di Twitter dan LinkedIn. Seorang pengguna menuduh bahwa ia telah dipaksa bekerja selama 20 jam sehari di sebuah firma konsultan papan atas tanpa dibayar lembur.

"Budaya kerja di India sangat buruk. Gajinya suram, eksploitasinya sangat tinggi. Tidak ada dampak negatif dan tidak ada penyesalan dari pihak pengusaha yang secara rutin melecehkan pekerja," tulis pengguna lain, seraya menambahkan bahwa para manajer sering dipuji karena bekerja berlebihan dan membayar karyawannya terlalu rendah.

Seorang mantan karyawan EY mengkritik budaya kerja di perusahaan tersebut dan menuduh bahwa karyawan sering "diejek" karena pulang tepat waktu dan "dipermalukan" karena menikmati akhir pekan.

"Para pekerja magang diberi beban kerja yang tinggi, jadwal yang tidak realistis, dan dipermalukan selama penilaian karena hal itu membangun karakter mereka untuk masa depan," tulisnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya