Penghasilan Nelayan di Era Prabowo Bakal Dinaikkan Jadi Rp 7,5 Juta Sebulan, Bisa?

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka perlu meningkatkan kesejahteraan nelayan.

oleh Tira Santia diperbarui 29 Okt 2024, 13:51 WIB
Diterbitkan 29 Okt 2024, 13:51 WIB
Hiruk-pikuk Aktivitas Nelayan di TPI Palangpang Ciletuh
Ikan hasil tangkapan nelayan dimasukkan ke dalam keranjang bambu di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palangpang, Ciletuh, Sukabumi, Jawa Barat, (23/9). Pembeli dapat langsung membeli ikan di pinggir pantai dengan harga yang murah. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi IV DPR RI periode 2024-2029, Rokhmin Dahuri, menyatakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka perlu menerapkan pendekatan terpadu dalam mewujudkan perikanan tangkap yang mampu menyejahterakan nelayan.

Rokhmin menegaskan bahwa KKP di Kabinet Merah Putih harus serius dalam menetapkan kebijakan di sektor perikanan. Ia berharap pendapatan nelayan di era kepemimpinan Prabowo dapat meningkat, sehingga nelayan di Indonesia bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp7,5 juta per bulan.

“Kebijakan pada on fishing di KKP harus serius, perikanan tangkap terukur sebaiknya menggunakan pendekatan ekonomi, bukan pendekatan biologi. Pastikan berapa jumlah kapal ikan dan nelayan yang boleh beroperasi di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) agar pendapatan nelayan minimal mencapai Rp7,5 juta per orang per bulan,” ujar Rokhmin dalam Diskusi Publik KNTI bertema 'Arah Kebijakan Baru Pemerintah Indonesia pada Tata Kelola Perikanan', Selasa (29/10/2024).

Merusak Lingkungan

Menurut Rokhmin, langkah lain untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan adalah dengan memberantas Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) dan destructive fishing.

Sebagai informasi, destructive fishing adalah praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti menggunakan bahan peledak atau racun. Praktik ini menjadi ancaman utama bagi pengelolaan potensi perikanan Indonesia.

“Berantas IUU dan destructive fishing, seluruh nelayan seharusnya mengikuti pedoman Responsible Fisheries yang diterbitkan oleh FAO,” tambahnya.

Selain itu, Rokhmin menyoroti kurangnya penyediaan mata pencaharian alternatif bagi nelayan oleh KKP. Di Indonesia, banyak nelayan tidak dapat melaut selama 3-4 bulan karena cuaca buruk dan paceklik ikan. Akibatnya, mereka tidak memiliki penghasilan dan banyak yang terjebak dalam kemiskinan.

“Mata pencaharian alternatif ini belum disediakan oleh KKP. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, nelayan minimal 3-4 bulan tidak bisa melaut akibat cuaca buruk atau paceklik ikan, dan pemerintah tidak memberikan alternatif penghasilan,” ujarnya.

 

Cegah Nelayan Menganggur

Cuaca Buruk, Nelayan Tradisional Libur Melaut
Sejumlah perahu saat bersandar di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Senin (26/12/2022). Akibat angin barat dan gelombang tinggi menyebabkan nelayan tradisional di Muara Angke libur melaut. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Rokhmin menekankan pentingnya pemerintah mencegah nelayan menganggur. Ketika mereka tidak bekerja, seringkali mereka terpaksa meminjam uang ke rentenir, sehingga saat musim melaut datang, keuntungan yang diperoleh habis untuk melunasi hutang.

“Jangan biarkan nelayan menganggur. Jika menganggur, mereka pasti berhutang ke rentenir, dan saat mendapat keuntungan kecil, bukannya menabung, tetapi untuk membayar hutang. Ini masalah yang terus dibiarkan bertahun-tahun,” tambahnya.

Rokhmin juga mengusulkan agar pemerintah melalui KKP dapat menyediakan sarana produksi bagi nelayan, seperti alat tangkap yang memadai, ketersediaan BBM, kemudahan akses modal, dan perizinan bagi nelayan lokal.

Selain itu, ia berharap kabinet Merah Putih dapat menghadirkan pelabuhan perikanan yang dilengkapi dengan kawasan industri perikanan terpadu. Hal ini akan membantu nelayan mendapatkan penghasilan yang stabil.

“Untuk sisi hilir, pastikan setiap pelabuhan perikanan menjadi kawasan industri perikanan terpadu, yang dilengkapi pabrik es, processing plant seperti untuk tempura dan ikan kaleng, agar hasil tangkapan nelayan dapat langsung terserap di lokasi tersebut kapan pun,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya