PHK Besar-Besaran, Ekonom: Ekonomi Indonesia Tidak Baik-baik Saja

Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak berkualitas. Salah satu indikatornya adalah rendahnya kemampuan sektor industri dalam menyerap tenaga kerja.

oleh Tira Santia Diperbarui 03 Mar 2025, 15:30 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2025, 15:30 WIB
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK. Foto: Freepik/master1305
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK. Foto: Freepik/master1305... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan yang signifikan, yang tercermin dari gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri, diantaranya terjadi di Sritex, Sanken, dan Yamaha Music.

Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menyebut bahwa kondisi ekonomi Indonesia berada dalam situasi "lampu kuning." Beberapa sektor, terutama industri tekstil, menghadapi pemutusan hubungan kerja yang cukup besar pada tahun 2024-2025.

"Ekonomi saat ini sedang dalam kondisi lampu kuning. Kita melihat industri kita babak belur dihajar oleh kondisi global dan domestik yang sedang tidak baik-baik saja," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Senin (3/3/2025).

Menurutnya, salah satu faktor utama yang mempengaruhi sektor industri Indonesia adalah penurunan permintaan ekspor, terutama dari dua negara besar seperti China dan Amerika Serikat (AS).

Permintaaan Turun

Permintaan yang terus menurun dalam dua tahun terakhir, berdampak langsung pada produksi TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) di dalam negeri. Hal ini memaksa industri tekstil untuk merasionalisasi produksi, mengingat volume permintaan ekspor yang tidak sebanding dengan kapasitas produksi.

Di samping itu, sektor industri lokal juga semakin tertekan oleh produk impor, terutama dari China, yang jauh lebih murah. Beleid Permendag No. 8 Tahun 2020 yang mempermudah arus impor barang dari luar negeri, semakin memperburuk persaingan bagi produk lokal.

Alhasil masyarakat cenderung memilih produk impor karena harga yang lebih murah, bahkan sampai ada laporan mengenai produk impor ilegal dari China yang masuk ke pasar Indonesia.

China lebih Murah 

"Masyarakat lebih memilih produk dari China yang lebih murah, dibandingkan dengan produk lokal. Terlebih kemarin ada info masuknya produk impor dari China secara ilegal," ujarnya.

Nailul Huda menilai, dengan keadaan seperti ini, kemungkinan terjadinya lebih banyak PHK masih terbuka lebar, terutama mengingat kondisi Purchasing Managers’ Index (PMI) yang belum menunjukkan perbaikan signifikan.

"Permintaan dalam negeri mungkin akan membaik dalam beberapa bulan ke depan namun tidak akan signifikan saya rasa," ujarnya.

 

Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Berkualitas

Data Pertumbuhan Ekonomi G20 per Kuartal III 2022
Suasana gedung pencakar langit di Jakarta, Selasa (15/11/2022). Berdasarkan data Kementerian Investasi, ekonomi AS per kuartal III adalah 1,8%, sementara ekonomi Korea Selatan adalah 3,1%. (Liputan6.com/Johan Tallo)... Selengkapnya

Lebih lanjut, Huda menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini tidak berkualitas. Salah satu indikatornya adalah rendahnya kemampuan sektor industri dalam menyerap tenaga kerja.

Dulu, 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap hingga 400 ribu tenaga kerja, namun kini angka tersebut hanya mencapai 100 ribu tenaga kerja.

Hal ini menjadi tantangan besar, karena meskipun ada pertumbuhan ekonomi, sektor industri yang seharusnya menjadi pendorong utama pertumbuhan tersebut tidak optimal dalam menyediakan lapangan pekerjaan.

"Jadi, memang masih jadi PR dalam hal kualitas pertumbuhan ekonomi. Alhasil, dalam jangka menengah dan panjang, kondisi ini akan memperparah kemiskinan dan ketimpangan," ujarnya.

 

Deindustrialisasi Prematur dan Ketimpangan Ekonomi

Disisi lain, Nailul melihat bahwa Indonesia juga sedang menghadapi fenomena deindustrialisasi prematur, yang menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur tidak lagi berkembang secara maksimal.

"Ada deindustrialisasi prematur yang menunjukkan kinerja sektor industri manufaktur tidak optimal," ujar Nailul.

Proporsi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya mencapai 18 persen, padahal sepuluh tahun lalu proporsi ini pernah lebih dari 20 persen. Kondisi ini semakin diperburuk dengan melambatnya PMI yang terus menekan sektor manufaktur.

"PMI juga terus melambat dalam beberapa bulan terakhir yang terus menekan sektor manufaktur. Belum juga ditambah serbuan produk impor yang semakin menekan industri dalam negeri," jelasnya.

Menurutnya, ketika dari sisi supply terganggu dan sisi demand belum pulih, maka pertumbuhan ekonomi akan stagnan dan tidak berkualitas. Jika dibiarkan sampai setahun atau dua tahun ke depan, akan lebih banyak tenaga kerja yang ter-PHK.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya