PHK Massal Sritex hingga Sanken, Begini Kata Buruh

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat, menegaskan fenomena PHK massal ini tidak terjadi secara tiba-tiba.

oleh Gagas Yoga Pratomo Diperbarui 03 Mar 2025, 16:50 WIB
Diterbitkan 03 Mar 2025, 16:50 WIB
PHK Massal Sritex hingga Sanken, Begini Kata Buruh
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali mengguncang industri di Indonesia. (Dok: PT Sri Rejeki Isman Tbk)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali mengguncang industri di Indonesia, dengan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Yamaha Musik, dan Sanken menjadi perusahaan terbaru yang melakukan pengurangan tenaga kerja dalam jumlah besar. 

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat, menegaskan fenomena PHK massal ini bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil dari akumulasi kebijakan dan kondisi ekonomi yang merugikan pekerja.

PHK Massal Sudah Dimulai Sejak Pandemi

Mirah menjelaskan, proses PHK massal sudah berlangsung sejak 2020 ketika pandemi COVID-19 melanda. Saat itu, banyak perusahaan yang terpaksa menutup operasionalnya akibat turunnya permintaan dan pembatasan mobilitas masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan disahkannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada tahun yang sama.

"Undang-Undang tersebut itu membuat PHK pada pekerja buruh itu sangat mudah bisa dibayangkan ya, tanpa melalui proses perusahaan pengadilan gitu. PHK juga bisa dilakukan dengan alasan rugi gitu. Pegawai paginya kerja siangnya bisa di PHK, siangnya kerja malamnya bisa di PHK itu yang terjadi dampak luar biasa Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Mirah kepada Liputan6.com, Senin (3/3/2025).

Mirah menambahkan meskipun pandemi mulai mereda pada 2023, dampaknya terhadap perekonomian masih terasa hingga sekarang. Ditambah dengan kenaikan harga kebutuhan pokok dan kebijakan upah yang tidak seimbang dengan inflasi, daya beli masyarakat semakin melemah.

PHK di Sanken dan Faktor "Pungutan Liar"

Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK. Foto: Freepik/drazen zigic
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK. Foto: Freepik/drazen zigic... Selengkapnya

Terkait PHK yang terjadi di PT Sanken, Mirah mengungkapkan selain alasan pasar, ada faktor lain yang jarang terungkap ke publik, yaitu tekanan dari oknum-oknum tertentu di sekitar kawasan industri.

Mirah menuturkan, Sanken menyebut alasan barang produksi mereka tidak laku dan akhirnya memilih relokasi ke Vietnam. Namun, di balik itu, ada banyak pungutan liar yang mereka hadapi dari oknum-oknum di sekitar kawasan industri. 

"Tapi sesungguhnya Sunken itu dia mendapatkan ini apa namanya itu pungutan liar dari atau dipalak lah dalam tanda kutip oleh ormas ormas sekitar. Itu yang enggak terekspos  yang media atau publik itu nggak tau sebenarnya mereka dipalak mereka nggak nyaman," jelas dia.

Mirah menyebut hal ini serupa dengan kasus PT Sony yang dulu hengkang dari Indonesia ke Malaysia akibat tekanan serupa.

Menurut dia, banyak perusahaan di kawasan industri Bekasi dan Cibitung yang mengeluhkan kondisi serupa, tetapi enggan berbicara terbuka karena khawatir terhadap dampaknya.

Regulasi Impor dan Krisis Sritex

Pekerja PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Dok Sritex)
Pekerja PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Dok Sritex) ... Selengkapnya

Selain itu, Mirah juga menyoroti kebijakan impor yang dinilai merugikan industri tekstil dalam negeri, termasuk Sritex. Ia mengkritik Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang membuka kran impor secara bebas, sehingga produk lokal kalah bersaing dengan barang impor murah.

"Coba dibayangkan batik saja ada yang harganya cuma Rp15.000 per piece itu bisa kita temui di pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Jakarta itu yang grosiran itu kita bisa menemukan itu," ujar dia. 

Mirah mendesak pemerintah untuk segera mencabut kebijakan ini guna melindungi industri dalam negeri dan mencegah gelombang PHK lebih lanjut.

Desakan kepada Pemerintah

Mirah mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna mencegah gelombang PHK lebih lanjut dan melindungi industri dalam negeri. Salah satu kebijakan yang perlu segera dicabut adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, yang dinilai memperburuk kondisi industri lokal dengan membanjirnya barang impor murah. 

Selain itu, pemerintah juga harus merevisi Undang-Undang Cipta Kerja dengan melibatkan serikat pekerja dalam penyusunan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil. Ia juga menegaskan bahwa harga kebutuhan perlu segera diturunkan setidaknya 20% untuk meringankan beban masyarakat. 

"Kemarin upah naik 6,5%, tapi itu sama saja bohong karena harga-harga itu tinggi, jadi turunkan harga 20%, kalau itu dilakukan itu memperingan beban rakyat saat ini," kata dia.

Dalam upaya menciptakan lapangan kerja baru, Mirah mendorong percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset agar dana hasil korupsi dapat dikembalikan ke kas negara dan dialokasikan untuk pembangunan ekonomi. 

Selain itu, ia meminta pemerintah untuk lebih aktif dalam membantu perusahaan yang mengalami kesulitan finansial, sehingga opsi PHK tidak langsung menjadi pilihan utama. 

 

 

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global
Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya