Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyebutkan jika harga Bahan Bakar Minyak (BBM) produksi kilang dalam negeri lebih mahal ketimbang impor. Sebab itu ada kewajiban untuk menyerap BBM dari kilang dalam negeri.
Sekretaris BPH Migas Djoko Siswanto mengatakan, kewajiban tersebut sudah ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71, yang bertujuan untuk melindungi keberlangsungan operasi kilang dalam negeri. Pasalnya jika tidak ada kewajiban tersebut perusahaan penyedia BBM dipastikan akan membeli produk BBM yang lebih murah.
"Jadi begini, Perpres Nomor 71 mewajibkan produk kilang dalam negeri harus dipakai untuk melindungi kilang dalam negeri agar jangan sampai mati. Karena kalau kita produksi BBM di kilang dalam negeri kan harganya lebih mahal. Tapi untuk melindungi ini, kalau tidak ada Perpres, orang bisa saja impor semuanya," kata Djoko, seperti yang ditulis di Jakarta, Senin (19/8/2013).
Joko menambahkan, mahalnya harga jual BBM dari kilang dalam negeri lantaran usia kilang yang sudah uzur, sehingga biaya produksi BBM jadi lebih mahal.
"Produk kilang kita itu lebih mahal sekitar 5% dari MOPS, dari impor, karena kilangnya sudah tua. Misalnya Pertamax Rp 7.000, 5%-nya sekitar Rp 350, berarti harga dari kilang dalam negeri sekitar Rp 7.350. Jadi kilang dalam negeri lebih mahal Rp 350 dari impor," tutur dia.
Meskipun ada kewajiban penyerapan produk kilang dalam negeri, perusahaan penyedia BBM tetap melakukan impor. Hal itu karena pasokan BBM yang dihasilkan kilang dalam negeri belum cukup memenuhi kebutuhan konsumsi BBM masyarakat Indonesia.
"Sedikit sekali. Premium saja, yang subsidi, kita bisa ambil dari kilang dalam negeri cuma 12 juta kilo liter (Kl) per tahun, sedangkan kebutuhan premium kan sampai 30 juta kl per tahun, jadi sekitar 18 juta kl sisanya impor," jelas dia.
Selain itu solar, dia menyebutkan dari produksi kilang dalam negeri mencapai 11 juta kl per tahun, padahal konsumsi sudah 16 juta kl. Sementara minyak tanah, dari produksi 10 juta kl, mengalami penurunan konsumsi karena program konversi menjadi 1 juta kl," tutup dia. (Pew/Nur)
Sekretaris BPH Migas Djoko Siswanto mengatakan, kewajiban tersebut sudah ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71, yang bertujuan untuk melindungi keberlangsungan operasi kilang dalam negeri. Pasalnya jika tidak ada kewajiban tersebut perusahaan penyedia BBM dipastikan akan membeli produk BBM yang lebih murah.
"Jadi begini, Perpres Nomor 71 mewajibkan produk kilang dalam negeri harus dipakai untuk melindungi kilang dalam negeri agar jangan sampai mati. Karena kalau kita produksi BBM di kilang dalam negeri kan harganya lebih mahal. Tapi untuk melindungi ini, kalau tidak ada Perpres, orang bisa saja impor semuanya," kata Djoko, seperti yang ditulis di Jakarta, Senin (19/8/2013).
Joko menambahkan, mahalnya harga jual BBM dari kilang dalam negeri lantaran usia kilang yang sudah uzur, sehingga biaya produksi BBM jadi lebih mahal.
"Produk kilang kita itu lebih mahal sekitar 5% dari MOPS, dari impor, karena kilangnya sudah tua. Misalnya Pertamax Rp 7.000, 5%-nya sekitar Rp 350, berarti harga dari kilang dalam negeri sekitar Rp 7.350. Jadi kilang dalam negeri lebih mahal Rp 350 dari impor," tutur dia.
Meskipun ada kewajiban penyerapan produk kilang dalam negeri, perusahaan penyedia BBM tetap melakukan impor. Hal itu karena pasokan BBM yang dihasilkan kilang dalam negeri belum cukup memenuhi kebutuhan konsumsi BBM masyarakat Indonesia.
"Sedikit sekali. Premium saja, yang subsidi, kita bisa ambil dari kilang dalam negeri cuma 12 juta kilo liter (Kl) per tahun, sedangkan kebutuhan premium kan sampai 30 juta kl per tahun, jadi sekitar 18 juta kl sisanya impor," jelas dia.
Selain itu solar, dia menyebutkan dari produksi kilang dalam negeri mencapai 11 juta kl per tahun, padahal konsumsi sudah 16 juta kl. Sementara minyak tanah, dari produksi 10 juta kl, mengalami penurunan konsumsi karena program konversi menjadi 1 juta kl," tutup dia. (Pew/Nur)