Liputan6.com, Jakarta Rachael Andrews, 49 tahun dari Norwich, kehilangan penglihatan di usia 20-an ketika ia memelihara hewan pengerat.
Dilansir dari BBC, ia tidak bisa lagi melihat dengan mata telanjang, namun ia menemukan kamera digital dapat membantunya 'melihat'. Sejak itu, ia mengembangkan hobi fotografinya dan bergabung dengan grup Vision Norfolk yang membantunya merasa tidak sendirian.
Baca Juga
Andrews mengatakan bahwa ia juga berkembang dari pengguna kamera digital dasar yang ia mulai dengan SLR digital dan sekarang menggunakan kamera mirrorless.
Advertisement
Setiap kali setelah mengambil foto, Andrews membuka hasil jepretan kameranya di layar komputer sehingga ia bisa melihat apa yang telah ia foto.
"Saya sangat senang meletakkannya di komputer dan akan mempostingnya di Facebook dan berharap orang-orang menyukainya," katanya.
"Saya pikir terkadang orang berpikir saya memiliki penglihatan yang lebih baik daripada saya karena foto saya, tapi itu saya anggap pujian." Ia ingin mengubah pemikiran orang-orang yang menganggap jika Anda tunanetra, Anda tidak bisa menjadi artistik. Dan Andrews ingin membuktikan bahwa sebenarnya Anda bisa dengan membuktikan dirinya.
Andrews menderita fibromyalgia, yang merupakan kondisi jangka panjang yang menyebabkan rasa sakit di seluruh tubuh. ia mengatakan penglihatannya akan bekerja jika dalam jarak yang sangat, sangat dekat. Itulah mengapa kebanyakan ia menikmati mengambil foto close up dari satu hal, seperti sepucuk bunga, seekor lebah, seekor anjing, setetes embun di daun, dan sebagainya.
Ia mengatakan semua bidikannya, termasuk setetes air di daun crocosmia, ia ambil dengan lensa manual menggunakan fitur yang disebut "focus peaking". Anda mungkin bisa menikmati lebih banyak karyanya dan menghargainya dengan mengunjungi facebooknya di @softofsight.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Peran masyarakat untuk menghilangkan stigma
Psikolog dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Tri Puspitarini mengatakan bahwa penyandang disabilitas perkembangan atau developmental disability masih menghadapi stigma negatif.
Stigma negatif ini bisa timbul dari masyarakat, lingkungan, bahkan keluarga sendiri.
Guna menepis stigma-stigma negatif terkait penyandang disabilitas perkembangan, masyarakat memiliki peran penting. Salah satu peran masyarakat yang dapat diterapkan yakni membangun pemahaman dan kesadaran bahwa penyandang disabilitas perkembangan bukanlah pengganggu, penghambat dalam pergaulan dan bukan “produk gagal”.
“Mereka amat mampu untuk belajar dan menerima pelajaran atau latihan yang diberikan, dengan strategi yang baik dan konsistensi serta dilakukan sedini mungkin,” ujar Tri dalam seminar daring Daewoong belum lama ini.
Advertisement
Kerap dianggap aneh
Sebagian dari anak dengan disabilitas perkembangan terlihat ”aneh” atau bahkan “agresif” dikarenakan adanya kesulitan dalam menyampaikan apa yang dimaksud. Mengenai hal ini, masyarakat perlu lebih terbuka dan menerima mereka dengan cara tidak “meledek”, tidak mengabaikan, tidak merundung dan sebagainya.
Ketika anak dengan disabilitas perkembangan mampu berkomunikasi dan bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan, mereka tidak akan menunjukkan perilaku agresif.
Beberapa dari anak penyandang disabilitas perkembangan tertentu bahkan memiliki bakat-bakat istimewa yang apabila dikembangkan dapat menjadi sumber penghasilan dan membuatnya lebih berdaya saat mereka dewasa.