Liputan6.com, Jakarta Fakta menunjukkan bahwa hanya terdapat 2,8 persen penyandang disabilitas yang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Padahal, pendidikan merupakan hak dasar dan inklusif bagi setiap individu.
“Dengan fakta ini kita bisa simpulkan pentingnya untuk mengakui kebutuhan mendesak untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang merata dan inklusif bagi semua peserta didik,” ungkap Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND), Dante Rigmalia, saat menjadi panelis pada Konferensi Nasional MOST – UNESCO yang difasilitasi oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengutip keterangan pers, Kamis (21/7/2022).
Baca Juga
Menurut Dante, ketersediaan pendidikan berkualitas yang merata dan inklusif harus tersedia dari tahun-tahun awal melalui wajib belajar, pendidikan dan pelatihan teknis dan kejuruan, pendidikan tinggi dan pembelajaran sepanjang hayat.
Advertisement
Sistem layanan pendidikan yang ideal untuk semua peserta didik dapat dibangun dengan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif melalui:
-Pengembangan kebijakan dengan lensa inklusif
-Data yang memadai dan terpilah tentang peserta didik
-Kurikulum yang sesuai
-Kemampuan dan sikap guru
-Bahasa dan komunikasi
-Teknologi sebagai alat bantu
-Akses fisik termasuk transportasi
-Keterlibatan masyarakat dan keluarga.
Masalah lain yang dihadapi lanjut Dante, adalah ketika perguruan tinggi sudah memberikan afirmasi berupa beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke pendidikan tinggi namun Penyandang disabilitas yang mendaftar untuk masuk perguruan tinggi juga sulit untuk ditemukan.
Persoalannya adalah 50 persen penyandang disabilitas hanya menempuh pendidikan di tingkat SD, artinya untuk bisa didorong melanjutkan sekolah hingga SMA menjadi suatu pekerjaan yang besar.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mengalami Ketidakadilan
Dalam keterangan yang sama, Ketua Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI), Dewi Tjakrawinata, mengatakan bahwa penyandang disabilitas mengalami ketidakadilan.
“Anak dengan disabilitas intelektual mengalami ketidakadilan dan perampasan Hak Asasi Manusia (HAM) sejak usia dini, ketika mereka berkesempatan mendapat pendidikan pun seringkali tidak mengakomodasi kebutuhan mereka dan materi yang diterima tidak dapat dimengerti,” ujar Dewi.
“Jika pada awal pendidikan situasinya seperti itu bagaimana penyandang disabilitas khususnya disabilitas intelektual dapat bersaing untuk mendapatkan pekerjaan nantinya?”
Pendidikan untuk penyandang disabilitas atau sekolah inklusi juga bergantung pada tingkat ekonomi keluarga. Pasalnya, sekolah inklusi pemerintah masih terbatas dan sekolah inklusi swasta biasanya perlu pengeluaran biaya.
Selain itu, kendala juga terjadi pada siswa Sekolah Luar Biasa atau SLB. Jika lulusan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) setara dengan Kelas 3 SD sekolah umum bagaimana siswa inklusi bisa bersaing mendapatkan pekerjaan dengan siswa umum lainnya, lanjut Dewi.
Advertisement
Terus Berupaya
Sementara, Koordinator Fungsi Penilaian, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemendikbud Ristek, Aswin Wihdiyanto, mengungkap bahwa pemerintah terus berupaya dan melakukan yang terbaik.
Upaya dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah, akademisi dan para praktisi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan atau regulasi yang berpihak pada pemenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas.
“Pemerintah terus membuat kebijakan-kebijakan yang inklusif, mendorong agar kebijakan itu bersifat inklusif dan akomodatif memperhitungkan keberadaan disabilitas di tengah masyarakat,” ujarnya.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk pendidikan inklusi adalah dengan memberikan akomodasi yang layak, sesuai yang tertera pada Peraturan Pemerintah No. 13/2022 Pasal 4. Yakni memberikan akomodasi yang layak dengan dukungan anggaran dan bantuan pendanaan, penyediaan sarana dan prasarana, penyiapan dan penyediaan Pendidik dan Tenaga kependidikan dan juga penyediaan kurikulum yang sesuai.
Selain persoalan pendidikan penyandang disabilitas, masih minimnya bukti ilmiah untuk mendasari penyusunan kebijakan dan perancangan program yang tepat adalah salah satu faktor yang menyebabkan kebijakan dan program serta layanan penyandang disabilitas belum sepenuhnya inklusif, terpadu (lintas-sektor), dan memadai.
Riset Jadi Dasar Capai Kesetaraan
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menegaskan, BRIN memiliki fungsi untuk mendukung pembentukan kebijakan berbasis bukti.
“BRIN sebagai lembaga riset pemerintah juga memiliki fungsi untuk mendukung pembentukan kebijakan berbasis bukti (evidence based policy),” kata Handoko mengutip keterangan pers Selasa (12/7/2022).
Fungsi ini dijalankan melalui Deputi Kebijakan Pembangunan, Deputi Kebijakan Riset dan Inovasi serta Deputi Riset dan Inovasi Daerah.
“Termasuk dalam hal ini kebijakan terkait kesetaraan bagi disabilitas, dan memastikan bahwa disabilitas tidak menjadi kendala untuk mendapatkan hak dasar sebagai warga negara,” lanjutnya.
Melihat hal tersebut, dibentuklah Komite Nasional Indonesia untuk Program Management of Social Transformation (MOST) – UNESCO. Ini adalah komite ilmu pengetahuan nasional intergovernmental yang berada di bawah koordinasi BRIN.
Komite ini memiliki visi bahwa riset merupakan dasar untuk mencapai kesetaraan, keadilan dan pengarusutamaan disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia.
Menurut Handoko, penyelenggaraan kegiatan MOST UNESCO merupakan wujud konkrit dukungan dan perhatian BRIN pada penyandang disabilitas. BRIN juga memiliki prioritas program riset terkait disabilitas ini.
Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Program MOST-UNESCO, Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, kegiatan ini membahas berbagai hal termasuk komitmen global Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dengan prinsip-prinsip universal.
Advertisement