Liputan6.com, Beijing - Bukan baju baru, bukan operasi plastik, bukan pula perlengkapan militer canggih yang kini jadi sorotan di Negeri Tiongkok. Namun, masalah yang lebih serius: bully pada remaja dan anak-anak.
Liu Lizhu tidak sadar kalau anak laki-lakinya yang pemalu sering dibully habis-habisan oleh teman-temannya. Kesadaran itu datang saat remaja 15 tahun berakhir di rumah sakit karena limpanya mengalami pendarahan dalam.
Baca Juga
Pada 8 Juni di malam sebelum ujian masuk SMA, anaknya, Huang Tanghong dipukuli oleh 3 temannya di sekolahnya di tenggara kota Fujian, China. Rupanya, mereka adalah pem-bully yang kerap kali menindas Huang dalam beberapa tahun terakhir.
Advertisement
Huang hanya bisa tergeletak di lantai tak berdaya setelah ia dianiaya.
"Ia terlalu takut untuk curhat kepada orangtuanya dan memendam ketakutan itu," ungkap sang ibu Liu, seperti dilansir dari CNN, Senin 2 November 2015.
Keesokan harinya, sang anak kesakitan luar biasa. Ia dibawa ke rumah sakit di tengah-tengah ujian. Dokter segera mengambil tindakan operasi.
Alasan para penganiaya cuma satu: Huang adalah anak pekerja migran!
"Mereka pukuli anakku, siksa anakku hanya karena alasan itu," isak Liu kepada CNN.
"Aku patah hati, dia darah dagingku."
Kisah Huang menyedot perhatian publik setelah sepupunya yang marah dan emosi menyebarkannya ke media-media sosial demi keadilan. Ia memposting gambar-gambar limpa Huang yang terluka serta hasil jahitan operasinya.
Para pembully berhasil digiring ke pengadilan kerena telah menyebabkan orang lain terluka. Namun, mereka dibebaskan setelah orangtuanya membayar kompensasi sebesar 210.000 yuan atau US$ 33.000 kepada keluarga Liu.
Kemana Pemerintah?
Kasus Huang serupa dengan kasus-kasus hate speech terutama di media online, yang sejauh ini belum ada perlindungannya di Tiongkok. Cerita-cerita, video dan gambar tentang korban bully tersebar luas di Weibo, Twitter ala China.
Setidaknya ada 30 kasus bully yang serius telah dilaporkan oleh media China dalam kurun waktu 9 bulan terakhir. Sekolah baru bereaksi setelah ada laporan dan menghukum pelaku dengan pengurangan nilai. Ada beberapa kasus parah, korban bully dipukuli hingga tewas.
Pada bulan Juli, pemantau internet Tiongkok, the Cyberspace Administration of China, melarang website yang memposting video kekerasan di mana bullying berlangsung.
Namun, di bulan Oktober, di awal mata pelajaran, sebuah video berisi penganiayaan sesama usia sebaya tersebar luas. Dalam rekaman itu, terlihat empat remaja putri berusia 12 hingga 14 memukuli dengan sadis seorang remaja perempuan lain, termasuk memukul dan menendang bagian bawah dan kemaluan anak itu selama tiga menit.
Menurut media lokal, pihak otoritas daerah dan Departemen Pendidikan menyelediki kasus itu.
Epidemi Bully: Salah Siapa?
Sebuah angka menujukkan bahwa masalah itu meningkat. Satu dari 5 siswa di China telah mengalami bullying.
Sebuah studi yang dirilis pada 2012, menjelaskan 4 kota di selatan provinsi Guangdong, menemukan 21% siswa sekolah menengah pernah terlibat dalam bullying. Baik itu sebagai pelaku, korban atau keduanya.
Kategori pelaku dan korban merupakan pola terulang. Dan hal itu membuat anak-anak mengalami masalah kesehatan serius di masa depan.
Banyak faktor yang menyebabkan bully terjadi. Salah satuya, adalah tekanan teman sebaya, keluarga berantakan, merasa tidak aman dan banyak menghabiskan waktu online. Pendapat keluarga, kendati kecil kemungkinannya, juga berpangaruh.
Advertisement
Apa yang Bisa China Lakukan?
Liu Chaoying, konselor psikologi anak di Beijing mengatakan hukuman berat untuk para pembully tidak akan menyelesaikan masalah.
Liu mengatakan bahwa baik itu pelaku maupun keluarga datang dari keluarga di mana tidak ada komunikasi antara orangtua dan anak. Anak-anak tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan mekanisme yang sehat untuk mengekspresikan emosi negatif.
"Anak-anak di usia ini mungkin akan bereaksi berlebihan bahkan cenderung brutal pada masalah kecil. Mereka tidak mengerti konsekuensi atas tindakannya," terang Liu.
"Orangtua wajib menghabiskan cukup waktu untuk anak mereka dan menjaga mereka," tambahnya.
"Mereka harus mengerti dan belajar bahwa apa yang terjadi di sekolah ataupun di luar rumah bisa saja mengecewakan. Jadi, emosi mereka tidak akan terakumulasi hingga mereka bisa berbuat kekerasan," bebernya lagi.
Namun, banyak dari korban dan pelaku di Tiongkok seperti Huang adalah 'generasi yang tertinggal' di China. Mereka adalah generasi baru di Negeri Tiongkok yang jarang melihat orangtuanya.
Satu dari lima China punya baik ayah atau ibu, atau justru keduanya bekerja sebagai pekerja migran. Mereka bekerja di kota lain, meninggalkan anak-anaknya untuk kerja di pabrik.
Mereka mengalami banyak masalah di sekolah yang berefek kesehatan mental serta perilaku.
Masa Depan Kelabu bagi Korban Bully
Bagi Huang Tanghong yang kini harus dirawat di rumah sakit, gagal dalam hadapi ujian masuk SMA. Masa depan akademisnya kelabu.
Tak jelas kapan ia akan mengambil tes ulang dan melanjutkan pendidikannya. Ia kini di rumah sementara ibunya memutuskan merawat anaknya.
"Bagaimana aku bisa kerja, sementara anakku sakit," tutur sang ibu, Liu. "Aku harus menjaganya tiap saat."
Pihak pemerintah lokal dan sekolah tidak peduli dengan kasus Huang hingga media memberitakannya, kata salah satu anggota keluarga. Bahkan menurut sepupu Huang, sekolahnya tidak bereaksi apapun atas kasus itu. Institusi pendidikan itu telah gagal melindungi muridnya sendiri, bahkan di dalam lingkungannya.
"Pertengkaran kecil bisa saja luput dalam pengawasan," kata Huang Jiaxin sang sepupu yang kecewa dan marah. "Namun, kalau sampai harus kehilangan organ? Itu bukan sekedar pertengkaran kecil. Itu masalah serius." (Rie/Ein)