Pemilu Australia Dibayang-bayangi 'Hantu' Brexit

Sebagian besar pemilih cenderung menghindari risiko di tengah ketidakpastian ekonomi global yang dipicu Brexit.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 02 Jul 2016, 14:32 WIB
Diterbitkan 02 Jul 2016, 14:32 WIB
Tempat pemungutan suara pemilu Australia. (Reuters)
Tempat pemungutan suara pemilu Australia. (Reuters)

Liputan6.com, Sydney - Jutaan rakyat Australia mulai menentukan pilihan mereka dalam pemilihan umum (pemilu) federal yang berlangsung pada Sabtu 2 Juli 2016.

Koresponden BBC di Sydney, Jon Donnison, mengatakan sebagian besar pemilih dalam pemilu Australia cenderung menghindari risiko di tengah ketidakpastian ekonomi global yang dipicu Brexit.

Memanfaatkan situasi tersebut, Perdana Menteri (PM) Malcolm Turnbull sekaligus calon petahana dari kubu koalisi bentukan Partai Konservatif menjamin kepada para pemilih bahwa dia mampu menghasilkan 'kepastian ekonomi'. Mantan pengacara dan bankir berusia 61 tahun itu juga berikrar akan memangkas tarif pajak bagi para pekerja serta pengusaha kecil.

Namun, pemimpin Partai Buruh, Bill Shorten menegaskan bahwa dirinya masih berniat untuk menang. Ia berjanji bahwa dari daftar prioritas yang akan dia lakukan jika terpilih sebagai perdana menteri adalah mengesahkan pernikahan sesama jenis.

Partai-partai Kecil

Dilansir dari BBC Indonesia, Sabtu (2/7/2016), para pemilih yang tidak klop dengan Turnbull dan Shorten diperkirakan akan memilih satu di antara sejumlah partai kecil.

Partai Hijau, yang memiliki 10 senator dan satu anggota di majelis rendah, diprediksi akan menduduki lebih banyak kursi, terutama dari daerah kota yang menyoroti masalah perubahan iklim dan penanganan terhadap pengungsi.

Selain Partai Hijau, ada pula partai antijudi dan pro-proteksionisme perdagangan yang dipimpin Senator Nick Xenophon. Partai itu diperkirakan dapat menjadi penentu perimbangan kekuasaan di parlemen AustraliaAustralia.

Kemudian, ada pula Partai One Nation yang didirikan Pauline Hanson. Partai ini mengincar berkiprah kembali di ranah politik dengan memanfaatkan isu anti-imigrasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya