Liputan6.com, Bangkok - Rakyat Thailand telah melakukan pemungutan suara pada Minggu 7 Agustus 2016 dalam sebuah referendum untuk memutuskan nasib rancangan konstitusi yang disusun oleh komite junta militer.
Sekitar 50 juta warga Thailand yang berpartisipasi dalam referendum diminta untuk menjawab dengan 'ya' atau 'tidak' atas pertanyaan apakah mereka akan menerima rancangan konstitusi tersebut atau bahkan sebaliknya.
Jika hasil referendum lebih banyak memilih 'ya', maka rancangan itu akan disahkan menjadi konstitusi.
Advertisement
"Keluarlah (untuk memilih) karena hari ini penting bagi masa depan negara," ujar Perdana Menteri Thailand yang juga merangkap sebagai Kepala Angkatan Bersenjata, Prayuth Chan-ocha, usai melakukan pemungutan suara di Bangkok.
Junta militer tak lagi menggunakan konstitusi lama ketika pihaknya berhasil mengambil alih kekuasaan pada 2014 dari Perdana Menteri yang saat itu menjabat, Yingluck Shinawatra.
Yingluck bernasib seperti kakaknya, Thaksin Shinawatra, yang juga dilengserkan dari posisi Perdana Menteri. Perbedaannya, Yingluck dimakzulkan MK, sedangkan Thaksin digulingkan militer.
Pengumuman pengambilalihan kekuasaan pada 2014 tersebut dilakukan Jenderal Prayuth Chan-ocha.
Seperti dikutip dari BBC, Minggu (7/8/2016), para pendukung rancangan konstitusi baru mengatakan bahwa undang-undang tersebut dapat membantu mengakhiri kekacauan politik dan memulihkan stabilitas.
Namun para kritikus menyebut, rancangan itu hanya membuat kontrol militer semakin kuat. Partai politik terbesar di Thailand pun telah menolak konstitusi tersebut.
Militer berpendapat bahwa politikus korup yang harus disalahkan atas ketidakstabilan dan perpecahan politik dalam 10 tahun terakhir.
Rancangan konstitusi yang dipublikasikan pada Maret 2016 itu mengusulkan sistem pemungutan suara yang dinilai akan menyulitkan partai politik tunggal untuk memenangkan mayoritas kursi di majelis rendah.
Salah satu ayat paling kontroversial adalah permintaan 250 kursi senat yang sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah militer.
Perubahan itu menunjukkan, anggota parlemen yang ditunjuk oleh militer akan memiliki suara menentukan dan kemungkinan tak ada partai yang memegang mayoritas di majelis rendah.