Liputan6.com, Cambridge - Para ahli sejarah dan antropologi sering mendapat masalah ketika harus mempelajari dokumen-dokumen purba dalam bentuk buku ataupun lapisan-lapisan lembaran ringkih.
Walaupun ingin membaca buku-buku tersebut, para ilmuwan khawatir malah merusak artefak karena usianya. Sekarang, para ilmuwan dapat 'membaca' isi buku tanpa membukanya.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari Gizmodo pada Selasa (13/9/2016), para peneliti di Massachussetss Institute of Technology (MIT) baru-baru ini menciptakan kamera menggunakan radiasi terahertz sehingga dapat membaca isi buku tanpa membukanya.
Radiasi terahertz berada di antara spektrum frekuensi gelombang mikro (microwave) dan inframerah.
Barmak Heshmat, Ramesh Raskar, dan Albert Redo Sanchez dari MIT, bersama-sama dengan Justin Romberg dan Alireza Aghasi dari Georgia Tech memilih radiasi tersebut karena reaksinya itu terhadap zat-zat kimia.
Zat-zat kimia yang berbeda menghasilkan frekuensi tertentu ketika bereaksi terhadap frekuensi-frekuenzi terahertz yang berbeda. Frekuensi-frekuensi yang dihasilkan itu dapat diukur dan dibedakan.
Dalam penerapan kamera ini, para peneliti kemudian dapat membedakan antara tinta dan kertas polos.
Algoritma dan perangkat lunak yang kompleks diperlukan untuk 'menterjemahkan' frekuensi-frekuensi yang dipantulkan kembali ke kamera, sehingga bisa membedakan huruf-huruf yang tertera pada kertas.
Untuk membedakan halaman demi halaman, sistem ini mengandalkan letupan-letupan singkat radiasi terahertz dengan mengukur waktu menembus jarak 20 mikrometer di antara halaman-halaman buku.
Sebagai catatan, rata-rata tebal sehelai rambut adalah 181 mikrometer. Jadi jarak antara halaman-halaman buku adalah sekitar 1/9 ketebalan rambut.
Dalam tingkat perkembangan sekarang, kamera terahertz tersebut dapat dengan tepat menghitung jarak hingga kedalaman 20 halaman, tapi baru bisa 'membaca' huruf hingga kedalaman 9 halaman. Kertas yang dibaca juga harus memiliki derajat tembus pandang tertentu.
Tapi, detektor dan pemancar radiasinya terus diperbaharui, sehingga para peneliti berpendapat bahwa sistem mereka dapat menjadi perangkat yang hebat bagi museum atau fasilitas lain yang perlu menjelajahi dan mencatat dokumen-dokumen bersejarah tanpa harus menyentuh ataupun membukanya sehingga mengurangi risiko kerusakan.