Liputan6.com, Tokyo - Selama bertahun-tahun sejumlah orang mengaitkan fenomena bulan purnama dengan bencana. Hal itu bukan tak beralasan, pasalnya beberapa gempa besar seperti yang terjadi di Chile (2010) dan Tohoku, Jepang (2011) terjadi pada saat purnama dan bulan baru.
Bahkan, salah satu bencana terbesar di Abad ke-21, gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, terjadi 2 pekan sebelum supermoon 10 Januari 2005.
Baca Juga
Seorang astrolog, Richard Nolle, meyakini bahwa purnama bisa jadi ‘pemicu’ bencana. “Memiliki kaitan historis dengan badai yang kuat, tsunami, pasang ekstrem, juga gempa bumi,” kata dia.
Advertisement
Terkait dengan hal itu, dalam artikelnya di majalah Horoscope pada 1979 ia menyebut gravitasi bulan purnama pada jarak terdekat dari Bumi--supermoon atau purnama perigee--membawa kekacauan di bumi.
Dalam sebuah wawancara dengan ABC Radio pada Rabu 9 Maret 2011, ia meramalkan supermoon ‘ekstrem’ yang akan terjadi pada 10 hari kemudian -- yang membuat jarak Bumi-Bulan hanya 221.567 mil atau 356.578 kilometer --bakal memicu malapetaka.
Dan 2 hari kemudian, 11 Maret 2011, bumi Jepang berguncang. Lindu dengan kekuatan 9 skala Richter memorakporandakan kawasan utara Negeri Sakura, memicu tsunami yang menyapu seluruh kawasan pesisir pantai Pasifik di wilayah Tohoku.
Tak hanya itu, Nolle juga menyebut sejumlah bencana, yang mungkin kebetulan berdekatan dengan fenomena supermoon.
Ini adalah fakta, entah kebetulan atau bukan: gempa yang meluluhlantakkan Kota Christchurch, Selandia Baru terjadi pada 22 Februari 2011, tak terlalu jauh dari supermoon 19 Maret 2011.
Gempa 7 yang mengguncang Haiti pada 12 Januari 2010 yang bertanggung jawab atas kematian lebih dari 200 ribu jiwa terjadi tak lama sebelum supermoon 30 Januari 2010.
Lalu apakah benar baik purnama biasa maupun purnama perigee (Supermoon) dapat menyebabkan gempa? Sebuah studi terbaru ternyata menguatkan dugaan itu.
Kaitan Purnama dengan Gempa Bumi
Peristiwa pasang pada perairan di Bumi yang terjadi pada purnama disinyalir menambah tekanan ekstra pada patahan Bumi. Selama puluhan tahun seismolog mencoba memahami apakah tekanan tersebut dapat memicu gempa.
Secara umum mereka sepakat bahwa pasang tinggi di laut yang terjadi dua kali sehari dapat mempengaruhi gempa kecil yang bergerak lambat di sejumlah tempat tertentu, termasuk patahan San Andreas di California dan zona subduksi Cascadia di pantai barat Amerika Utara.
Namun sebuah studi yang dipublikasi pada 12 September 2016 di jurnal ilmiah Nature Geoscience, melihat pola lebih besar terkait pasang yang terjadi saat purnama dan bulan baru. Penelitian itu menyebut, gempa bumi berkekuatan tinggi naik secara global saat tekanan pasang meningkat.
Penelitian tersebut dilakukan oleh seorang seismolog di Univeristy of Tokyo, Satoshi Ide, dan rekan-rekannya dengan menyelidiki tiga catatan gempa yang mencakup Jepang, California, dan seluruh dunia.
Mereka menemukan bahwa gempa besar yang melanda Chile dan Tohoku terjadi di dekat waktu pasang maksimum--selama bulan baru dan purnama, di mana Matahari, Bulan, dan Bumi terletak sejajar.
Lebih dari 10.000 gempa bumi dengan kisaran kekuatan 5,5 skala Richter (SR) yang dimulai saat tekanan pasang tinggi, lebih mungkin tumbuh menjadi gempa berkekuatan lebih dari 8 SR.
"Ini adalah cara sangat inovatif untuk mengatasi isu yang telah lama diperdebatkan," ujar seismolog Geological Survey of Canada dan Natural Resources Canada di Sidney, Honn Kao, seperti dikutip dari Nature, Selasa (13/9/2016).
"Ini memberi kita sejumlah pengertian ke hubungan yang mungkin antara tekanan pasang dan terjadinya gempa besar," imbuhnya.
Namun Kao menambahkan, penelitian tersebut tak menjadi jawaban akhir dari isu yang selama ini diperdebatkan. Menurutnya, ada terlalu banyak faktor yang memicu gempa bumi.
Meski demikian, menurut seorang seismolog di University of Washington, John Vidale, hasil penelitian itu masuk akal. "Mereka melakukan penelitian dengan sangat hati-hati," ujarnya.
Menurut Vidale, penemuan tersebut tak mempengaruhi bagaimana masyarakat harus bersiap dalam menghadapi gempa. Meski dipengaruhi pasang, kemungkinan terjadi gempa pada hari tertentu pada wilayah rawan gempa masih sangat rendah.
"Terlalu kecil untuk menjadi dasar perencanaan aksi (penanggulangan gempa)," ujarnya.
Advertisement