Liputan6.com, Caracas - Pemerintah Venezuela memutuskan untuk menarik uang pecahan senilai 100 bolivar. Keputusan tersebut menimbulkan kebingungan terhadap masyarakat.
Denominasi lebih kecil ditarik dan diganti dengan denominasi yang lebih besar pada Kamis 15 Desember 2016 lalu. Namun demikian, seperti dikutip dari The Guardian pada Sabtu (17/12/2016), masyarakat memandang keputusan itu justru menambah kekacauan pada situasi krisis negeri yang memang sudah runyam.
Kata Gabriel (25), seorang mahasiswa di Caracas, kepada The Guardian, "Saat ini, uang pecahan 100 bolivar menjadi setengah dari uang yang kami miliki. Karena inflasi yang luar biasa, uang pecahan 2, 5, 10 dan 20 bolivar tidak ada manfaatnya."
Advertisement
Baca Juga
"Tapi bank mengatakan mereka belum menerima (mata uang baru)... kami hampir tidak memegang uang tunai lagi. Setelah menukar mata uang, orang pergi ke ATM… mereka mendapatkan uang pecahan 100 bolivar yang baru dan harus antre lagi untuk memasukan uang itu!"
Warga Venezuela diberi waktu 72 jam sejak Selasa 20 Desember lalu untuk menyetor mata uang 100 bolivar, sebelum resmi dianggap tidak berlaku. Sementara penggantinya, ada 6 mata uang dan 3 koin baru yang akan diterbitkan, dengan nilai terbesarnya 20 ribu bolivar.
Carlos (58) dari Caracas mengatakan, "Banyak negara di dunia pernah menukar mata uang mereka, tapi dalam tenggat waktu cukup untuk menukarkan yang lama dengan yang baru."
Menurutnya, masa penukaran itu berlangsung terlalu cepat, "Lihatlah Eropa dengan euro mereka. Ketika Chávez mengganti bolivar Venezuela dengan bolivar Strong, keduanya berlaku bersama hingga beberapa tahun."
"Di dua pertokoan saya melihat dua bank dengan orang antre menunggu untuk menyetor mata uangnya. Di pasar swalayan, orang membayar menggunakan uang tuani, bukan seperti biasanya dengan kartu debit dan kredit," imbuh Carlos.
Sistem pertukaran negeri itu sangat rumit. Pasar gelap pun tumbuh subur dan dianggap bertanggungjawab pada membengkaknya inflasi negeri itu, yang sekarang berada pada angka 500 persen.
Menteri Dalam Negeri Venezuela, Nestor Reverol mengatakan bahwa para kriminal mengirim mata uang 100 bolivar ke luar negeri sebagai bagian dari serangan finansial. Melalui penarikan mata uang 100 bolivar, pemerintah berharap dapat melawan kelompok-kelompok mafia atau kriminal, terutama di perbatasan dengan Kolombia.
Luis (18) dari Upata, kota di timur laut negeri itu sepakat dengan tindakan pemerintah, untuk melawan mereka yang meraup untung dari perdagangan mata uang di pasar gelap. Kendati demikian ia belum yakin dengan dampak hal tersebut pada kehidupannya.
Katanya, "Mata uang dipakai oleh para anggota gangster di Kolombia yang mewarnai uang itu untuk mencetak atau menciptakan mata uang dolar palsu, misalnya."
"Bagus juga menarik mata uang itu dari peredaran, tapi masalahnya adalah waktu yang terlalu singkat… dan di masa orang sedang berbelanja, perlu uang tunai untuk itu."
Tapi, Loretta yang tinggal di Caracas tidak sepakat dengan hal itu. "Jika pemerintah ingin memerangi mafia, mereka harus menggunakan polisi dan dinas intelijen, bukannya tambah mengobok-obok ekonomi. Edan! Mereka belum menerbitkan mata uang barunya."
Ia melanjutkan, "Banyak orang yang tidak punya rekening bank, banyak usaha kecil tidak punya cara membayar dengan kartu. Para pensiunan biasanya lebih senang dengan uang tunai karena lebih memudahkan mereka."
Pemerintah berharap keputusan itu akan memperbaiki keberadaan makanan dan obat-obatan, melalui pengendalian penjualan barang subsidi Venezuela yang biasanya dijual lagi di pasar gelap dengan keuntungan luar biasa.
"Mereka yang aji mumpung dari situasi ini, semisal para gangster yang menjual lagi makanan dengan harga tinggi, menyelundupkan bensin bersubsidi secara lintas batas, adalah mereka yang telah meraup untung dari situasi ini."
"Mereka bertambah kaya secara besar-besaran dengan menyalahgunakan kebutuhan masyarakat."
Reverol mengatakan, "Saya memiliki teman-teman yang kehilangan bobot tubuhnya, mereka terlihat kurus kering dan menyeramkan… karena beberapa di antara mereka tidak punya kemungkinan makan 3 kali sehari, tidak bisa mendapatkan pekerjaan, atau tidak mendapat nafkah cukup untuk membeli makan setidaknya selama seminggu."
Dampak pada Masyarakat
Presiden Nicolas Maduro mau tak mau semakin dihujani kritik, karena caranya menangani krisis ekonomi. Namun ia mengatakan bahwa perang ekonomi sedang dijalankan di negeri itu, oleh lawan-lawan dari sayap kanan.
Tapi para pengritik berpendapat bahwa kendali ketat mata uang dan penetapan harga pada beberapa benda adalah penyebabnya.
Clarissa, seorang perancang grafis yang tinggal di ibukota, mengatakan bahwa keputusan yang sembrono tidak akan memperbaiki apapun. Tapi ia menjadi terbiasa dengan situasi runyam itu.
"Jasa kartu kredit dan debit rontok beberapa minggu lalu, dan orang antre hingga beberapa jam ketika mencoba menarik uang untuk berjaga-jaga. Sekarang terpaksa kembali ke bank untuk menyetor semuanya."
Menurutnya, "Keputusan sejenis ini memerlukan pemikiran panjang dan logistik. Ada beberapa pertanyaan belum terjawab. Tak seorangpun, bahkan para supir taksi, yang menerima mata uang itu. Dari mana mata uang barunya? Tak masuk akal."
Bagi kebanyakan orang, rasanya gerakan itu terlalu terlambat. Carlos (38), seorang akuntan dari Barquisimeto di negara bagian Lara mengatakan bahwa para penjahatnya sudah telanjur kaya, sementara ekonomi negara tak tertolong lagi.
"Kerusakannya sudah terjadi dan akibatnya seperti biasa, mereka kaum papa. Bagi warga Venezuela yang punya akses ke dolar AS, bisa saja mengambil US$ 10 dan menjualnya lagi US$ 45."
"Ekonomi ini adalah surga bagi kaum kaya, sementara kebanyakan orang hidup dalam lingkaran penderitaan."
Advertisement