Liputan6.com, Washington DC - Setidaknya 12 orang tewas setelah sebuah truk besar ditabrakkan ke kekerumunan pembeli di pasar Natal yang sibuk di Berlin, Jerman, Senin 19 Desember 2016. Melalui medianya, Amaq, ISIS mengaku ada di balik serangan teror tersebut.
Kebenaran klaim tersebut masih dipertanyaan, sementara aparat Jerman masih mencari
tersangka sekaligus motif di balik serangan teror tersebut.
Apapun, serangan tersebut dianggap sesuai dengan salah satu tujuan ISIS:
menyebarkan ketakutan serta kekacauan di negara Barat dengan harapan memecah belah Muslim dan warga lain.
Advertisement
Para ahli bidang terorisme mengaitkan klaim tersebut dengan deklarasi perang terhadap Jerman -- yang relatif lebih sedikit mengalami serangan teror di banding Belgia dan Prancis.
Jerman, dengan komunitas umat Islam besar dan sejarah perselisihan politik atas isu imigrasi muslim-- dianggap kelompok militan sebagai salah satu target yang strategis, meski reputasi negara tersebut yang baik soal toleransi.
Para dedengkot ISIS dalam beberapa bulan terakhir meminta para pendukungnya untuk melakukan penyerangan di Jerman dengan berbagai cara, termasuk menggunakan 'senjata' yang tak biasa seperti truk -- dengan tujuan menciptakan reaksi anti-muslim.
Hal itu tentu saja akan membuat masyarakat muslim kian terpojok, namun bagi ISIS itu adalah keberuntungan.
Dengan memecah belah masyarakat Eropa dan umat Islam, mereka akan merayu muslim yang bimbang ke jalur 'jihad' -- dalam versi ISIS.
"Meski Jerman hanya memainkan peran kecil dalam upaya serangan anti-ISIS, namun negara itu adalah salah satu yang terpenting di Eropa Barat-- membuatnya menjadi tempat yang baik untuk menabur perpecahan di antara aliansi Barat," kata Paul Pillar, mantan pejabat kontraterorisme CIA sekaligus periset senior dari Center for Security Studies, Georgetown University, seperti dikutip dari Washington Post, Rabu (21/12/2016).
"Momok pengungsi menyerang tuan rumah mereka, di negara yang telah membuka pintu untuk kedatangan imigran muslim dalam jumlah besar, dapat mengintensifkan sentimen anti-imigrasi, tidak hanya di Jerman, tetapi juga di tempat lain di Eropa."
Kurang dari 24 jam setelah terjadinya teror truk di Breitscheidplatz, ISIS menyatakan bertanggung jawab dan menyatakan pelakunya adalah 'tentara Negara Islam'.
Polisi Jerman awalnya menahan seorang pencari suaka asal Pakistan yang melarikan diri dari lokasi kejadian. Belakangan, pria itu dibebaskan karena tak cukup bukti untuk menyatakannya terlibat. Perburuan pelaku hingga saat ini masih dilakukan.
ISIS hanya menyebut penyerang sebagai 'tentara Negara Islam' namun tak merinci informasi tentang pelaku.
Bukan kali ini saja ISIS mengklaim aksi teroris yang dilakukan individu, yang menurut mereka, terinspirasi oleh propaganda tapi tidak memiliki hubungan langsung dengan kelompok teror itu atau anggotanya.
Beberapa ahli kontraterorisme mengaku skeptis dengan klaim tersebut. Apalagi, tidak seperti insiden sebelumnya, di mana para pelaku 'rela mati', sopir truk Berlin kabur dari kendaraan dan membaur dengan kerumunan.
"Mudah untuk mengatakan, 'Ini ISIS,' tapi dalampenyelidikan, Anda harus mempertanyakan segala hal dan mengeksplorasi segala macam kemungkinan," kata Ali Soufan, mantan agen pengawasan khusus FBI. "Kita harus berpegang pada bukti."
Pada bulan November 2016, mediaberbahasa Perancis ISIS menyerukan umat Islam di Eropa untuk meniru serangan teroris 14 Juli di Nice, Prancis -- di mana pria Tunisia menabrakkan truknya di sepanjang pantai yang ramai dan menewaskan 86 orang.
Sementara, pada 2015, sebuah artikel di majalah berbahasa Inggris ISIS Dabiq, memperingatkan bahwa teroris akan mulai menargetkan Barat dengan tujuan untuk memprovokasi reaksi Muslim yang tinggal di sana.
"Muslim di Barat," kata artikel itu, "akan segera menyadari posisi mereka di antara dua pilihan: mereka 'murtad' dan mengadopsi agama (Barat) atau pindah ke negara ISIS untuk menghindari pembalasan."