Liputan6.com, Ankara - Presiden Recep Tayyip Erdogan menekankan, ia tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa pelaku penembakan Duta Besar Rusia untuk Turki, Andrey Karlov terkait dengan organisasi pimpinan Fethullah Gulen.
Penegasan Erdogan itu muncul 48 jam setelah peristiwa penembakan Karlov oleh Mevlut Mert Altintas di sebuah galeri seni di Ankara. Pemuda berusia 22 tahun itu adalah seorang polisi anti huru-hara yang sedang tidak bertugas saat menjalankan aksinya.
Baca Juga
"Tidak ada alasan untuk menyembunyikan bahwa dia (Altintas) adalah anggota jaringan FETO--julukan Turki bagi organisasi Gulen yang mereka klaim sebagai teroris. Seluruh koneksinya, dari mana ia mendapat pendidikan hingga relasinya, semuanya mengarah ke Feto," ujar Erdogan seperti dilansir The New York Times, Kamis (22/12/2016).
Advertisement
Dengan demikian, Turki sudah dua kali menunjuk jaringan Gulen sebagai dalang pembunuhan Karlov. Sebelumnya, seorang anggota parlemen Turki dari partai berkuasa (AKP), Kani Torun juga menyebutkan hal serupa.
"Menurut temuan awal, dia bukanlah orang yang telah berkunjung ke Suriah dan sangat tidak mungkin dia telah menjalin kontak dengan kelompok-kelompok di Suriah," kata Torun yang juga menjabat sebagai wakil ketua komite parlemen untuk urusan luar negeri.
"Dengan demikian, satu-satunya kemungkinan pelaku serangan ini adalah FETO. Mereka telah sangat aktif dalam kepolisian. Meski kelompok ini telah banyak disingkirkan dari kepolisian, kami yakin mereka bisa melakukan serangan bom bunuh diri seperti ini," ujarnya.
Gulen sendiri telah tinggal di pengasingannya di Pennsylvania, Amerika Serikat (AS) sejak tahun 1999. Ia mengutuk pembunuhan tersebut dan membantah keterlibatannya.
"Saya mengutuk kuat tindakan teror keji ini. Tidak ada aksi teror yang dibenarkan, terlepas dari latar belakang pelaku dan tujuan yang telah ditetapkannya," kata Gulen.
Juru bicara Gulen bahkan menyebut tuduhan Turki itu omong kosong untuk mengalihkan perhatian dari lemahnya keamanan di ibu kota Turki.
Tak hanya dituding mendalangi penembakan Dubes Rusia, Feto pun disebut pemerintah Turki bertanggung jawab atas kudeta pada 15 Juli 2016 lalu yang bertujuan melengserkan Erdogan.
Sejak saat itulah Feto telah ditindak keras atau dalam bahasa lainnya "dibersihkan" dari setiap ruang di berbagai sektor di Turki. Namun dalam pernyataannya, Erdogan mengatakan, pembunuhan Dubes Karlov menunjukkan bahwa pendukung Gulen masih hadir dalam struktur keamanan kunci dan upaya pembersihan perlu dilanjutkan.
"Saya harus mengatakan dengan jelas, organisasi kotor ini masih ada di dalam tubuh militer, kepolisian," tegas Erdogan seperti dikutip dari News.com.au.
Tanpa memberikan keterangan lebih rinci, ia menyebut kemungkinan "koneksi asing" terkait plot pembunuhan Karlov.
Otoritas Turki juga telah menangkap lebih dari 100 wartawan menutup puluhan media. Langkah represif yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Â
Rusia: Jangan Terburu-buru Menyimpulkan
Terkait dengan penembakan Karlov, Rusia telah mengirimkan 18 penyidiknya ke Turki. Kedua pihak sepakat menjalin kerja sama, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Erdogan dan Presiden Vladimir Putin.
Tim Rusia itu tiba di Ankara pada Selasa lalu. Mereka menghabiskan waktu seharian di TKP setelah sebelumnya sempat menyaksikan otopsi.
Namun hingga saat ini, Kremlin belum melontarkan pernyataan apa pun. Terlebih, menyinggung Gulen sebagai dalang pembunuhan.
"Dalam hal ini, sangat tidak layak untuk terburu-buru menyampaikan kesimpulan sampai akhirnya penyelidikan mengungkapkan kebenaran, demikian pesan presiden kami," ujar Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov seperti dimuat News.com.au.
Sementara itu, fakta lain terungkap. Harian Hurriyet memuat dalam laporannya, Altintas ternyata pernah mengawal Erdogan sebanyak delapan kali pasca-kudeta.
Menurut kantor berita Anadolu, Altintas pernah dua kali izin sakit pada tanggal 15 Juli. Namun tidak diketahui persis apa yang dilakukannya.
Ia juga diketahui izin sakit pada hari yang sama saat penembakan Karlov terjadi. Surat sakitnya ditulis oleh dokter yang sama.
Sejak kudeta 15 Juli 2016, Turki telah beberapa kali mendesak Amerika Serikat (AS) mengekstradisi Gulen. Namun Negeri Paman Sam belum tergerak melakukannya.
Advertisement
Siapa Gulen?
Gulen dan Erdogan ada sahabat lama. Konflik antar keduanya mulai mencuat pada tahun 2010. Saat itu Gulen mengkritik keras pemerintah Erdogan yang mendukung pengiriman kapal Mavi Marmara untuk menembus blokade Jalur Gaza pada tahun 2010.
Lantas, pada tahun 2013, Gulen, yang memimpin gerakan rakyat (Hizmet) menuding Erdogan terlibat skandal korupsi. Gulen yang merupakan kelahiran 27 April 1941 itu adalah ulama paling berpengaruh dan memiliki paling banyak pengikut di Turki. Bagi Erdogan, ia adalah lawan berat.
Kelompok Gulen juga disebut pula sebagai negara tandingan karena dalam perkembangannya, gerakan itu menyebar ke semua lini di Turki, termasuk di lembaga negara, seperti militer, kepolisian, dan peradilan.
Pengaruh gerakan Gulen disebut-sebut mencapai tingkat mengancam kedaulatan negara Turki atau sederhananya disebut ada negara di dalam negara.
Gerakan Gulen awalnya fokus pada pendidikan. Ia membangun jaringan sekolah di Turki dan manca negara, seperti Asia Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara.
Puncak kejayaannya terjadi pasca kudeta militer tahun 1980. Saat itu ia mendapat dukungan penuh pemerintah junta militer untuk terus mengembangkan sayap pengaruh di Turki dan luar negeri.
Gulen kini tercatat telah memiliki lebih dari 1.500 lembaga pendidikan dari semua tingkatan dan 15 perguruan tinggi yang tersebar di sekitar 140 negara. Gerakannya pun disebut telah menjelma menjadi konglomerasi yang merambah berbagai bidang termasuk pendidikan, ekonomi, dan media.