Debat Panas Kebijakan Anti-Imigran Muslim Donald Trump

Menurut pemerintahan Trump, pengadilan telah secara ceroboh melibatkan diri dalam ranah keamanan nasional

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 08 Feb 2017, 09:09 WIB
Diterbitkan 08 Feb 2017, 09:09 WIB
20170206-Kebijakan Trump Ditangguhkan, Warga Muslim Tiba di Washington-AS
Sebuah keluarga muslim sekembalinya dari Amsterdam, tiba di Bandara Internasional Minneapolis-Saint Paul, Senin (6/2). Sejumlah warga muslim sempat tidak dapat masuk AS akibat kebijakan imigrasi Presiden Donald Trump. (Jerry Holt/Star Tribune via AP)

Liputan6.com, San Francisco - Tarik ulur terkait perintah eksekutif Presiden Donald Trump yang melarang masuk warga dari 7 negara mayoritas Muslim terus berlanjut. Pada Selasa pukul 6 pagi waktu Pantai Timur Amerika Serikat (AS), tiga hakim Federal adu mulut dengan pihak Presiden yang baru menjabat 17 hari tersebut.

Perdebatan berlangsung selama 3 jam. Yang jelas, tarik ulur urusan legal ini berdampak kepada ratusan ribu orang dan arah perjalanan kepresidenan.

Disarikan dari CNN pada Rabu (8/2/2017), Jaksa Agung negara bagian Washington dan Minnesota berpendapat bahwa perintah pembatalan sementara (temporary restraining order) tetap diberlakukan karena Presiden telah "menimbulkan gejolak" ketika menandatangani perintah eksekutif yang ditentang dua jaksa tersebut.

Adu argumentasi dilakukan oleh panel Pengadilan Banding Sirkuit 9 yang berkedudukan di San Francisco. Pengadilan tersebut memiliki reputasi sebagai salah satu yang paling liberal di AS sehingga pernah ada upaya oleh sejumlah anggota legislative Republikan yang mencoba membatasi dampaknya.

Menurut pemerintahan Trump, pengadilan telah secara ceroboh melibatkan diri dalam ranah keamanan nasional, demikian menurut August Flentje, penasehat khusus di Departemen Kehakiman, kepada Pengadilan Banding Sirkuit 9.

Katanya, "Ini adalah penilaian tentang keamanan nasional yang secara tradisional dilimpahkan kepada Presiden."

Ia dicecar untuk menyodorkan bukti bahwa pemerintah memang perlu melakukan pelarangan. Hakim Michelle T. Friedland menanyakan apakah pemerintah bisa menunjukkan bukti "yang mengkaitkan negara-negara itu dengan terorisme."

Hakim Richard R. Clifton sepertinya bersimpati kepada fakta bahwa negara bagian memiliki kemampuan untuk menggugat pemerintahan sekarang. Menurutnya, argument pemerintah masih "abstrak", apalagi belum ada prosedur untuk penyaringan individual terkait visa.

Jaksa Agung negara bagian Washington, Noah Purcell, membela peran pengadilan. Katanya, "Memang menjadi peran cabang yudikatif untuk menyatakan aturan dan berfungsi untuk memeriksa…apalagi sekarang ini."

Menurutnya, pemerintahan Trump tidak bisa menunjukkan adanya kerugian tak terpulihkan jika pelarangan tetap diberlakukan, padahal warga dan pemerintah negara bagian kehilangan pemasukan pajak sebagai akibat perintah eksekutif tersebut.

Tapi Hakim Clifton meragukan argumen oleh negara bagian tentang hal itu dan mempertanyakan seberapa banyak orang di Washington yang dirugikan oleh keputusan eksekutif tersebut.

Tiga hakim tersebut terus mencecar Flentje, tentang apakah Presiden sebenarnya sedang melarang Muslim manapun. Flentje membantahnya, katanya, "Bukan begitu isi perintah tersebut."

Muslim dari 7 negara tersebut sebenarnya secara relatif cukup sedikit, sehingga muncul pertanyaan bagaimana perintah eksekutif itu memang berniat melakukan diskriminasi terhadap Muslim, karena tidak membidik Muslim secara mayoritas.

Menurut sanggahan Purcell, "Tidak perlu ada bukti bahwa hal itu mencederai semua Muslim, hanya perlu membuktikan bahwa tindakan itu dimotivasi sebagian oleh kebencian."

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya