Pertemuan Menlu AS-Rusia Dibayangi Potensi Perang di Suriah

Pasca-serangan misil ke Suriah, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson kunjungi Rusia.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 12 Apr 2017, 12:00 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2017, 12:00 WIB
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson saat tiba di Moskow, Rusia (Ivan Sekretarev/AP)
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson saat tiba di Moskow, Rusia (Ivan Sekretarev/AP)

Liputan6.com, Moskow - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson tiba di Moskow, Rusia, pada Selasa, 11 April 2017 waktu setempat. Ia direncanakan akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov.

Kunjungan ini menjadi sorotan, karena pertemuan kedua menlu tersebut berlangsung tak lama setelah serangan misil AS ke Suriah. Serangan tersebut dikutuk oleh Moskow, yang secara terbuka mendukung rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Selama di Kremlin, Tillerson dan Lavrov akan membahas sejumlah isu kunci, termasuk situasi di Suriah.

Sebelum pertemuan tersebut, Lavrov lebih dulu menyatakan harapannya agar dialog dengan Tillerson dapat berlangsung konstruktif dan bebas konfrontasi.

Menurutnya, Moskow bersedia membahas seluruh isu politik dengan Washington sesuai dengan kesepakatan.

Namun diplomat kawakan asal Rusia itu lebih memilih untuk membicarakan hal yang bersifat pereda konflik dan tensi internasional, bukan hal sebaliknya.

"Dan kami berharap Amerika menginginkan hal yang sama," kata Menlu Rusia seperti yang dikutip Russia Today, Selasa, (12/4/2017).

Terbuka kemungkinan mantan bos Exxon Mobil itu akan bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin. Namun juru bicara Putin, Dmitry Peskov belum mengonfirmasi agenda itu.

"Aku belum bisa mengonfirmasi pertemuan itu," kata Peskov kepada Ria Novosti seperti dilansir Russia Today.

Agenda awal pertemuan kedua menlu itu adalah untuk memperbaiki hubungan antara Rusia dan AS.

Washington mengklaim bahwa pemerintah Assad mendalangi serangan senjata kimia di Idlib, Suriah. Negeri Paman Sam juga mengklaim Rusia secara tidak langsung bertanggungjawab atas serangan nahas itu.

Damaskus membantah sebagai dalang serangan senjata kimia yang menewaskan ratusan orang itu.

Pentagon dilaporkan tengah melakukan investigasi untuk mencari keterlibatan Rusia dalam serangan kimia ke Idlib.

Awal minggu ini, beredar kabar bahwa Tillerson akan mengajukan sebuah memorandum kepada negara anggota G7 pada pertemuan di Italia Mei 2017 nanti.

Memorandum itu akan berisi desakan agar Rusia menghentikan dukungannya kepada rezim Assad. Ada dugaan jika Moskow menolak menandatangani memorandum itu, negara anggota G7 lain akan mencabut keanggotaan Rusia di organisasi tersebut.

Pernyataan serupa juga diisukan oleh Menlu Inggris Boris Johnson yang mendesak agar Rusia menghentikan aktivitasnya di Suriah jika tidak ingin menerima sanksi dari Britania Raya.

Menlu Prancis, Jean-Marc Ayrault turut mendukung rencana ultimatum negara-negara G7 kepada Rusia.

"Anggota G7 akan mengingatkan Rusia bahwa hal tersebut harus dihentikan," ujar Ayrault.

Tillerson dan Lavrov berharap bahwa pertemuan nanti akan berakhir konstruktif.

"Aku berharap dapat membangun dialog yang konstruktif dengan Lavrov," kata Tillerson.

Sementara itu Lavrov masih bersikeras bahwa serangan AS ke Suriah tidak dapat diterima.

"Kami akan mendengar apa yang mereka ingin bicarakan. Namun, kita juga harus memahami proses di Washington. Dan jelas, bagi kami, serangan misil AS ke Suriah tak dapat diterima," ujar jubir Lavrov, Maria Zakharova.

 

 

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya