Monster hingga Kutukan, Ini 10 Mitos Tentang Gerhana Matahari

Untuk menjelaskan redupnya Matahari secara mendadak, peradaban-peradaban purba menciptakan beragam legenda dan dongeng.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 15 Apr 2017, 19:48 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2017, 19:48 WIB
Gerhana dalam peradaban (00)
Ilustrasi gerhana matahari di Novosibirsk, 1 Agustus 2008 (Sumber Wikimedia/Kalan)

Liputan6.com, Jakarta - Pada 21 Agustus 2017 akan terjadi gerhana matahari meluas yang dialami bagian besar dunia. Itu akan menjadi gerhana pertama yang melintasi Amerika Utara dalam Abad ke-21, sekaligus yang pertama melintasi benua Amerika dalam 4 dekade belakangan.

Keberadaan media sosial akan memungkinkan aliran informasi tiada henti dari setiap orang yang terdampak oleh gerhana. Akan ada banyak foto, video, dan temuan-temuan ilmiah baru.

Tapi, seperti dikutip dari Listverse.com pada Sabtu (15/4/2017), kebanyakan hal dalam sejarah manusia tidak selalu demikian. Pengetahuan tentang gerhana yang disebabkan melintasnya Bulan di antara Bumi dan Matahari tidak masuk dalam pikiran para leluhur kita.

Untuk menjelaskan redupnya Matahari ataupun Bulan secara mendadak, peradaban-peradaban purba menciptakan beragam legenda dan dongeng seperti berikut ini:

1. Keyakinan Norse

Serigala mengejar Sol dan Mani. (Sumber Wikimedia/Hélène Adeline Guerber via Haukurth ke ranah publik)

Bangsa Norse percaya bahwa Matahari dan Bulan dilambangkan oleh saudara sekandung Sol dan Mani. Mereka melintasi angkasa menggunakan kereta kuda dan menentukan panjangnya hari dan bulan dalam setahun.

Merekalah kekuatan penggerak Matahari dan Bulan, sekaligus menjadi bagian integral tatanan dunia. Ketika keduanya melintas di angkasa, mereka terus-menerus dikejar oleh dua serigala Skoll dan Hati yang kemudian akhirnya menyergap saudara sekandung pria dan wanita tersebut.

Legenda bangsa Norse menyebutkan bahwa, ketika dua serigala itu menyantap Matahari dan Bulan, langit pun menjadi gelap dan Ragnarok, yaitu kiamat menurut bangsa Norse, akan dimulai.

2. Bangsa Maya

Observatorium El Caracol (Wikimedia/R.123 via Share Alike ke ranah publik)

Bangsa Maya sangat terlibat dengan astronomi dan astrologi. Mereka menganggap penting pergerakan semesta dalam kehidupan harian dan tindakan-tindakan dalam budaya mereka.

Bagi bangsa itu, pergerakan benda-benda semesta adalah cara para dewa berkomunikasi. Gerhana matahari dipandang sebagai kejadian yang sangat mencemaskan. Mereka menyebutnya sebagai chi’ ibal kin, atau “memakan matahari.”

Bangsa Maya sangat trampil memperkirakan pergerakan angkasa sehingga kalender mereka sangat teliti hingga ke Abad ke-21 ini. Mereka mencatat pergerakan Bulan sehingga bisa memperkirakan suatu tanggal jauh sebelumnya. Mungkin yang paling mencengangkan adalah perkiraan gerhana total pada 11 Juli 1991.

Bangsa Maya sangat cermat mengamati bahwa pola-pola kecil pada akhirnya mengarah kepada pola-pola besar.

3. Budaya Navajo

Bagi bangsa Navajo, gerhana matahari adalah saat di mana matahari sedang melemah. Saat itu, semua orang harus bersikap hormat. Ada kepercayaan kuat bahwa setiap pria, wanita, dan anak harus menunjukkan hormat kepada semesta dengan cara menunggu dalam ruang hingga gerhana berlalu.

Mereka juga dilarang makan, minum, atau menatap ke angkasa. Menurut kebanyakan bangsa Navajo modern, gerhana matahari membawa ketenangan, sedangkan bangsa Navajo kuno akan menghentikan segala kegiatan selama gerhana.

Mereka bahkan menghentikan upacara-upacara yang sedang berlangsung agar terhindar dari kejahatan yang dicurahkan kepada mereka oleh Matahari yang sedang meredup.

Banyak bangsa modern Navajo yang masih melakukan tradisi leluhur dan menolak melakukan kegiatan apapun selama gerhana matahari. Banyak di antara kita tertarik dengan gerhana besar, tapi kaum tradisional Navajo akan menetap dalam ruang.

4. Korea

Ilustasi gerhana Bulan, (Sumber Pixabay/skeeze)

Dalam mitologi Korea, ada cerita tentang seorang raja di negeri kegelapan, jauh dari dunia kita.

Raja itu ingin mencari cara menyediakan cahaya dan kehangatan ke negerinya sehingga ia memerintahkan anjing paling ganas di sana untuk mencuri Matahari dan Bulan dari Bumi.

Dengan tekad mencuri Matahari, anjing yang bernama Bulgae itu menggigitnya dan merasa Matahari terlalu panas baginya. Ia kemudian mencoba mencuri Bulan, yang dirasakan terlalu dingin. Setiap kali anjing itu mencoba mengulangi dua hal itu, kita mengalaminya sebagai gerhana.

5. Aborigin Australia

Lukisan matahari versi Aborijin. (Sumber Stanford University)

Bangsa Aborigin di Australia percaya bahwa Matahari adalah seorang wanita dari suatu perkemahan jauh di timur yang menyulut obor dan bergerak melintasi angkasa.

Di pagi hari, ia akan menghiasi dirinya dengan pewarna merah yang bertebaran ke langit sehingga tampak kemerahan saat matahari terbit. Ketika menuju ke barat, lagi-lagi ia menghiasi dirinya menjadi semburat warna matahari terbenam sambil kembali ke perkemahan hingga muncul lagi esok hari.

Wanita itu dikisahkan kembali ke perkemahannya menggunakan jalur bawah tanah dan menghangatkan Bumi dari dalam sehingga menumbuhkan tanaman.

Di sisi lain, Bulan dipandang sebagai sosok pria dan dikaitkan dengan kesuburan. Gerhana matahari pun dijelaskan sebagai peristiwa Bulan dan Matahari sedang berpelukan.

6. Benin dan Togo

Di Benin dan Togo, di Afrika Barat, suku Fon di sana menceritakan gerhana dalam suasana yang lebih damai dibandingkan dengan budaya-budaya lain. Mereka percaya bahwa Matahari (“Lisa”) dan Bulan untuk kemudian saling bertandang.

Pada mulanya, orang ketakutan dengan meredupnya Matahari dan menanggapnya sebagai kutukan pembawa sial. Namun Mawu menceritakan kepada mereka bahwa itu adalah peristiwa ketika Lisa sedang memeluknya.

Setelah penjelasan itu, orang-orang memberikan sesajian dan, sejak saat itu, memandang gerhana matahari sebagai saat bahagia dalam kebersamaan.

7. Mongolia

Dalam legenda Mongolia, ada suatu monster bernama Arakho yang sangat kelaparan ingin menyantap rambut. Legenda itu kemudian menyebutkan bahwa manusia dulunya tertutup rambut, tapi Arakho menyantap sebagian besar rambut itu sehingga manusia terlihat seperti apa adanya sekarang.

Pada dewa menganggap ini sebagai tergerusnya kekuatan mereka sehingga memerintahkan Matahari dan Bulan untuk menciptakan ramuan hidup abadi. Tapi Arakho mendengar tentang hal itu dan mencuri ramuan tersebut.

Sebelum ia sempat menghabiskannya, kepalanya dipancung hingga lepas. Tapi jumlah ramuan yang telah ditenggaknya cukup untuk membuat kepalanya terus hidup.

Dalam amarah, ia sekarang memburu Matahari dan Bulan, lalu memakan mereka. Tapi, karena tidak lagi mempunyai tubuh, santapannya lolos lagi melewati lehernya. Jadi, ketika gerhana matahari terjadi, itu sebenarnya Arakho sedang menyantap Matahari.

8. Jepang

Amaterasu. (Sumber Wikimedia/Utagawa Toyokuni III untuk ranah publik)

Sejarah Jepang memiliki banyak catatan kejadian gerhana matahari. Selama berabad-abad, kejadian gerhana menyebabkan tutupnya kantor di seluruh negeri pada hari sesudah gerhana.

Ada beberapa gerhana besar yang tercatat sebelum 1600 M. Tapi, kebanyakan catatan kejadian itu tersebar. Legenda pertama yang menjelaskan gerhana matahari berkaitan dengan praktik Shinto.

Satu kisahnya menceritakan tentang perselisihian antara Susanoo, dewa laut, dan Amateras, dewi Matahari. Susanoo melakukan serangkaian pelanggaran terhadap saudara perempuannya sebelum ia kemudian menguasai lautan.

Amaterasu tidak berkenan dengan tindakan saudara lelakinya sehingga bersembunyi dari dewa-dewa lainnya. Ketika Amaterasu tidak ada, Matahari menghilang dari angkasa.

Untuk mengembalikan cahaya kepada dunia, dewa-dewa lain memutuskan untuk membujuknya keluar dari gua persembunyian. Mereka menciptakan hiburan dan perayaan ritual.

Karena penasaran dengan suara-suara di luar, Amaterasu memutuskan untuk melihatnya. Ketika keluar, ia disergap dan cahaya pun kembali menerangi dunia. Menurut kepercayaan Shinto, gerhana matahari terjadi ketika Amaterasu bersembunyi lagi.

9. Hindu

Legenda Hindu tentang gerhana matahari mirip dengan legenda Mongolia, karena sama-sama menceritakan dimakannya Matahari oleh penyerang tak berkepala yang telah dihukum menggunakan kekerasan.

Dalam mitos Hindu, ada pertikaian antara kelompok Devata dan kelompok Asura demi menerima amrit (kehidupan kekal) dari sebuah jambangan. Vhisnu menyamar sebagai seorang penari rupawan dan membagikan amrit kepada 2 kelompok tersebut.

Ia meminta dua kelompok itu duduk berbaris secara berseberangan, lalu mulai membagikan amrit tersebut. Tapi ia sebenarnya tidak berniat membagikan amrit kepada kaum Asura, hanya untuk kaum Devata.

Salah satu dari kelompok Asura menyadari apa yang terjadi dan segera berpindah ke kelompok seberang untuk menerima kehidupan kekal. Ketika Vishnu tiba di anggota Asura itu dan ia mulai meminumnya, Matahari dan Bulan menyadari bahwa Asura itu bukan bagian dari kelompok mereka.

Vishnu segera menanggalkan samarannya dan mencabut kepala sang Asura dari tubuhnya. Tapi, Asura itu telah menenggak amrit sehingga ia tidak mati. Kepalanya menjadi Rahu dan tubuhnya menjadi Ketu.

Demi melampiaskan dendam kepada Matahari dan Bulan karena mengungkap penyusupannya, Rahu mengejar-ngejar untuk memakan mereka.

Tapi karena Rahu hanya sekedar kepala, ia tidak bisa menelan Matahari ataupun Bulan yang langsung lolos dari lehernya. Jadi, ketika terjadi gerhana matahari, itu adalah Rahu yang sedang berupaya lagi membalaskan dendamnya.

10. China

(Sumber Cambridge University Press/Brunier and Luminet, Glorious Eclipses)

Kaum China Kuno termasuk salah satu peradaban pertama yang menciptakan observatorium. Menurut kepercayaan mereka, seorang kaisar berkaitan dengan Matahari sehingga setiap perubahan pada Matahari merupakan kutukan jahat bagi sang kaisar.

Di antara tindakan pertama yang tercatat terkait gerhana matahari adalah dugaan pemancungan dua ahli astronomi karena tidak memperkirakan terjadinya suatu gerhana. Sang kaisar melakukan semampunya untuk membujuk kekuatan-kekuatan yang membawa kembali Matahari.

Pada awal sejarah China, tulang ramalan digunakan untuk mencatat gerhana-gerhana. Namun demikian, catatan itu kerap samar dan tak bertanggal.

Pada awalnya, bangsa China Kuno percaya bahwa Matahari sedang disantap seekor naga. Sebelum pembangunan observatorium, dipercaya ada naga semesta yang bersiap menyantap Matahari agar dunia dilanda kegelapan.

Secara tradisi, panci dan wajan diketuk-ketuk agar menciptakan kebisingan untuk mengusir naga tersebut. Bangsa China kemudian meninggalkan penjelasan mitologis sembari mengembankan astronomi yang lebih maju dan menyimpan catatan tertulis pada kertas secara lebih baik.

Dengan kemajuan seperti itu, masih ada yang percaya dengan legenda masa lalu, termasuk para awak kapal angkatan laut pada Abad ke-19 yang menembakan meriam-meriam mereka untuk mengusir naga yang sedang menelan Bulan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya