Liputan6.com, Caracas - Setidaknya sembilan orang, termasuk di antaranya seorang kandidat dalam pemilu legislatif tewas terbunuh dalam waktu 24 jam terakhir di Venezuela. Kekacauan terjadi di tengah pemilu untuk memilih anggota legislatif baru yang akan bertugas untuk mereformasi konstitusi.
Partai-partai oposisi sayap kanan dilaporkan memboikot pemilu yang dilaksanakan pada Minggu. Menurut mereka, itu ditujukan untuk mengonsolidasikan kekuatan Presiden Nicolas Maduro.
Seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (31/7/2017), pemerintah telah memperpanjang pencoblosan hingga pukul 19.000 dengan alasan adanya antrean yang panjang di pusat pemungutan suara.
Advertisement
Para aktivis anti-Maduro yang mengenakan penutup kepala atau masker memasang barikade di jalan dan terlibat bentrokan dengan aparat keamanan yang berusaha membubarkan mereka.
Maduro, presiden dari sayap kiri yang terpilih pada 2013 beberapa bulan belakangan dihujani demonstrasi mengingat krisis ekonomi yang memicu inflasi serta kekurangan pangan dan kebutuhan dasar lainnya.
Di tengah sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat atas kekerasan selama berbulan-bulan yang telah menewaskan 120 orang, Maduro mendesak diciptakannya majelis konstituen yang kuat atau parlemen.
Maduro menuding pihak sayap kanan berusaha menyabotase "Sosialisme Abad ke-21" yang diciptakan pendahulunya Hugo Chavez. Beberapa pemerintah daerah di Venezuela, termasuk AS, telah menyuarakan penolakannya atas pemilu yang kontroversial tersebut.
Utusan AS untuk PBB, Nikki Halley, pada hari Minggu menyebut, pemilu merupakan "tipuan" dan "langkah menuju kediktatoran". Ia menegaskan bahwa AS tidak akan menerima "pemerintahan yang tidak sah".
"Sang kaisar, Donald Trump ingin menghentikan hak rakyat Venezuela untuk memberikan suaranya," kata Maduro saat ia mencoblos pada pukul 06.00 di area Caracas.
"Sebuah era baru akan dimulai. Kita akan maju dengan majelis konstituen ini," kata dia.
Pendukung Chavismo, gerakan yang didirikan oleh Chavez mengatakan mereka ingin menghentikan kerusuhan.
"Pihak oposisi menginginkan kematian dan penghalang jalan, sementara pemerintah menginginkan perdamaian," ujar Olga Blanco (50), seorang pendukung gerakan ini saat memberikan suaranya di Caracas.
Javier Farje, seorang analis politik Amerika Latin, mengatakan bahwa pemerintah Maduro tidak akan menulis ulang konstitusi tapi mereka akan memperkenalkan sembilan reformasi dalam konstitusi saat ini.
"Saya yakin satu-satunya solusi adalah memulai kembali dialog yang dihentikan pada bulan Desember 2016 ketika oposisi meninggalkan dialog karena mereka tidak setuju dengan pemerintah," katanya kepada Al Jazeera.
"Mereka harus kembali ke meja perundingan, Majelis Konstituante seharusnya tidak dipandang sebagai halangan, tidak akan menggantikan Majelis Nasional saat ini, mari kita perjelas. Majelis Nasional masih bisa melakukan tugasnya."
Simak video berikut: