Liputan6.com, London - Para pembaca penggemar permainan Game of Thrones mungkin sudah membayangkan kisah penindasan yang tersirat dalam permainan tersebut.
Ternyata, dalam kehidupan nyata, pria kelas bawah di London Abad Pertengahan memang mengalami kekerasan ekstrem yang jauh lebih parah dibandingkan wilayah Inggris mana pun pada masa itu.
Ahli arkeologi Kathryn Krakowka dari University of Oxford menjelaskan demikian, "Diduga kekerasan di London pada Abad Pertengahan amat berkaitan dengan jenis kelamin dan status sosial."
Advertisement
Dikutip dari New Scientist pada Rabu (30/8/2017), dugaan itu dilontarkan oleh Krakowka setelah menelaah 399 tengkorak dari enam tempat pemakaman di London yang bertarikh antara 1050 dan 1550 M.
Baca Juga
Beberapa makam itu menjadi bagian dari biara. Artinya, perlu biaya besar untuk dimakamkan di sana dan sering kali hanya dimanfaatkan oleh kaum kelas atas. Pemakaman lainnya dikelola oleh keuskupan dan dipergunakan oleh kalangan bawah.
Peneliti itu mendapati bahwa 6,8 persen tengkorak yang ditelaah menunjukkan adanya beberapa jenis trauma akibat kekerasan. Yang paling terdampak adalah kaum pria berusia antara 26 hingga 35 tahun.
Sekitar 25 persen cedera tengkorak terjadi dekat dengan waktu kematian sehingga ada dugaan bahwa orang tersebut meninggal karena pukulan pada kepala.
Tingginya angka kekerasan terdapat di pemakaman-pemakaman Abad Pertengahan dari wilayah lain di Eropa semisal Kroasia, demikian menurut Krakowka. Sebuah penelitian lain menunjukkan ada 20,1 persen individu memiliki retak di bagian kepala.
Namun, di pemakaman-pemakaman London yang digali untuk penelitiannya, tingkat kekerasan kira-kira dua kali lebih tinggi daripada wilayah mana pun di Inggris.
Misalnya, di dua pemakaman di York yang dulunya kota utama, tingkat kekerasan yang terungkap di dua pemakaman itu hanya 2,4 dan 3,6 persen.
Yang lebih mengejutkan, Krakowka menemukan kaitan yang diduga berdasarkan kelas sosial.
Persentase trauma tengkorak di pemakaman warga kelas rendah lebih tinggi daripada trauma tengkorak di pemakaman-pemakaman yang dikelola biara.
Wanita peneliti itu menduga bahwa kalangan atas memiliki akses kepada sistem hukum pada masa itu. Sebaliknya, kalangan miskin tidak memiliki akses tersebut dan menyelesaikan permasalahan mereka secara informal.
Cara Cepat Penyelesaian Perselisihan
Lembar-lembar catatan kedokteran pada masa itu menunjukkan banyaknya pembunuhan yang terjadi pada Minggu malam dan Senin pagi, saat kaum pria kalangan bawah sedang bersenang-senang di kedai minum (tavern).
Kumpul-kumpul di kedai minum biasanya diikuti dengan perkelahian.
Krakowka mengatakan, "Hal ini, ketika dikombinasikan dengan hasil temuan saya, menimbulkan dugaan bahwa mereka yang berstatus rendah menyelesaikan konflik dengan perkelahian informal yang bisa saja diperparah oleh kemabukan."
Ahli antropologi Luke Glowacki dari Institute for Advanced Study di Toulouse, Prancis, berpendapat, "Warga berstatus rendah tidak mengandalkan hukum. Mereka mengandalkan kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik."
Di lain pihak, warga kalangan atas hanya berkelahi dalam sistem duel yang lebih formal yang mungkin melibatkan penggunaan pedang, kuda, atau adu tombak. Pihak yang bertikai pun mengenakan pelindung logam pada kepala.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Advertisement