Liputan6.com, Jakarta - Enam tahun lalu, Aldi Suganda yang masih berusia 2 tahun menjadi pusat perhatian dunia karena ketagihan rokok. Walau masih balita, ia menghabiskan beberapa bungkus rokok setiap hari.
Rekaman dirinya sedang merokok disaksikan jutaan orang di dunia.
Kini, dalam usia 8 tahun, anak yang tinggal di desa kecil bernama Teluk Kemang Sungai Lilin, provinsi Sumatra Selatan, menceritakan kisahnya, "Dulu, sukar bagiku untuk berhenti. Jika tidak merokok, mulutku rasanya asam dan kepalaku pusing."
Advertisement
Diana, ibunya, mengenang masa itu. Menurutnya, putranya akan marah dan mengambek jika tidak diberi rokok atau uang untuk membeli. "Ia membentur-benturkan kepala ke dinding, mengamuk, dan menyakiti dirinya kalau tidak diberi," kata dia,
Baca Juga
Seperti dikutip dari CNN pada Kamis (31/8/2017), Diana mengatakan, orang-orang bahkan menudingnya sebagai ibu yang buruk dan mempertanyakan kemampuannya mengasuh anak.
"Saya adalah ibu yang lemah. Ia selalu mengancam saya jika tidak memberi uang…saya takut dia mati."
Aldi adalah anak bungsu dari 3 putra pasangan Diana dan suaminya. Tapi, Aldi bukan satu-satunya anak yang terjebak kebiasaan itu. Di Indonesia, ditaksir ada lebih dari 267 ribu anak diduga menggunakan produk-produk tembakau setiap hari.
Diana menduga kebiasaan Aldi bermula akibat tekanan lingkungan dan paparan para perokok. Setiap pagi, anak itu menemaninya berjualan sayur hasil kebun sendiri. Orang-orang di pasar mungkin mengajarinya merokok, apalagi rokok mudah didapat di pasar.
Angka perokok anak dan remaja Indonesia juga termasuk yang paling tinggi sedunia, antara lain karena kurangnya kendali atas periklanan, penjualan yang bebas, dan harga yang murah.
Hari ini Aldi adalah seorang anak lelaki yang sehat dan bersekolah dengan angka yang baik. Tapi, untuk bisa menjadi seperti sekarang, perlu rehabilitasi beberapa tahun lamanya di bawah bimbingan psikolog mumpuni Dr. Seto Mulyadi yang juga menjadi ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Pemulihannya tidak selesai hanya dengan kecanduannya pada tembakau. Sebagai pengganti tembakau, ia mulai ketagihan makan sebagai bentuk kompensasi sehingga menjadi semakin gemuk.
Jadi diperlukan rehabilitasi tahap ke-2 untuk mengatasi ketagihan makan hingga akhirnya ia menjadi seorang anak lelaki sehat dan stabil yang duduk di samping ibunya sekarang ini.
Menurut Kak Seto, salah satu manfaat bekerja dengan anak-anak berketagihan adalah keuletan mental mereka. Dalam kasus Aldi, ia cepat menanggapi perawatan karena usia dan kecerdasannya.
Selama pemulihan, Mulyadi harus menarik perhatian anak itu dengan berlari, memanjat, dan bermain sambil perlahan-lahan mengurangi jumlah rokoknya hari demi hari.
Tapi pemulihan itu berlangsung sangat intens sehingga Aldi harus ke Jakarta selama beberapa bulan agar bisa setiap hari bersama Kak Seto.
"Saat itu ia masih berusia 3 tahun dan merokok 4 bungkus setiap hari…secara psikologis, sebagai seorang anak, ia masih sangat luwes dan lebih mudah disembuhkan."
Setidaknya, sekarang ini ia telah sembuh.
Aldi sekarang ingin membantu mencegah agar anak-anak lain mengalami masalah yang sama. Kata Aldi, "Aku tidak mau merokok lagi. Aku tidak mau sakit."
"Jangan merokok, bahkan jangan mencobanya. Susah berhenti."
Kasus seperti kasus Aldi sepertinya sangat jarang naik ke permukaan, tapi kasus serupa di Indonesia tidak mendapat perhatian serius, kata Kak Seto yang merawat Aldi.
"Aldi sangat beruntung karena kasusnya mendapat tanggapan cepat dari pemerintah dan masyarakat…media nasional dan internasional memberikan perhatian besar. Anak-anak lain tidak seberuntung dirinya."
Seto Mulyadi pun berpendapat bahwa pemerintah Indonesia tidak cukup ketat, katanya, "Selama iklan rokok masih tersebar luas di TV, radio, koran, papan luar ruang, dan di manapun, maka persoalan perokok anak akan menjadi lebih buruk."
Dimiskinkan oleh Rokok
Laporan Tobacco Atlas pada 2013 menyebutkan bahwa lebih dari 57 persen kaum pria Indonesia adalah perokok. Setidaknya 42 persen remaja usia 13 hingga 15 tahun adalah perokok.
Dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS), hanya 17 persen kaum pria yang perokok dan hanya 8,2 persen remaja usia antara 13 hingga 15 tahun yang melakukannya.
Diperkirakan lebih dari 217 ribu warga Indonesia meningal dunia tiap tahun karena penyakit-penyakit terkait rokok, misalnya penyakit jantung dan kondisi paru (emfisema dan kanker paru).
Menurut Dr. Lily Sulistyowati, direktur pencegahan dan pengendalian penyakit tak menular Kementrian Kesehatan, pesan Aldi mungkin terdengar sayup-sayup karena terlalu lazimnya merokok dan terus meningkatnya jumlah perokok oleh beberapa kelompok dalam beberapa tahun belakangan.
Menurut pejabat itu, "Saya sangat khawatir tentang kebiasaan merokok di Indonesia.”"
Di negara-negara lain, angka perokok mengalami penurunan antara 2013 dan 2016. Tapi, jumlah perokok Indonesia berusia di bawah 18 tahun malah naik dari 7,2 ke 8,8 persen.
Bukan hanya itu, di antara warga Indonesia berusia 10 hingga 14 tahun, lebih dari 3 persennya adalah perokok pada 2013 dan 2016. Kebanyakan di antara mereka adalah para remaja pria.
Menurut data Penelitian Kesehatan Dasar Indonesia 2013, lebih dari 18 persen remaja pria dan 9 persen remaja putri dalam rentang usia yang sama pernah mencoba rokok.
Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa 1,5 persen anak lelaki dan 1,4 persen anak perempuan dari golongan usia 5 hingga 9 tahun pernah mencoba rokok.
Menurut Sulistyowati, persoalannya lebih parah lagi di kawasan pedesaan dan di antara penduduk miskin. Katanya, "Penduduk miskin membelanjakan uang mereka untuk rokok."
Pada 2013, menurut Biro Pusat Statistik (BPS) seperlima warga terkaya Indonesia menggunakan 7,1 persen belanja bulanan untuk tembakau, sedangkan seperlima warga termiskin menghabiskan 12,5 persen belanja bulanan untuk tembakau.
Jumlah pembelanjaan beras dan tembakau oleh seperlima warga termiskin Indonesia hampir setara, yaitu 15,5 persen untuk beras dan 12,5 persen untuk tembakau.
Padahal, jumlah pembelanjaan tembakau sekitar 6 kali lebih besar daripada pembelanjaan susu dan telur.
Kawasan pedesaan cenderung dihuni oleh warga berpenghasilan lebih rendah. Prioritas warga adalah bekerja mencari uang untuk keluarga, sehingga anak-anak rentan menghadapi pengaruh ketika orangtuanya sibuk.
Terlebih lagi, anak-anak mulai bekerja sejak usia dini guna mencari uang untuk membeli rokok, demikian menurut Dr. Aman Pulungan, ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Merokok di kalangan anak dan remaja pun masih menjadi persoalan di kota-kota, demikian menurut Sulistyowati. Tapi warga tahu bahwa kebiasaan itu buruk bagi kesehatan sehingga anak-anak melakukannya sembunyi-sembunyi bersama teman-teman.
Misalnya seperti yang dialami Icha (16) yang mulai merokok sejak usia 13 tahun karena diajak seorang teman. Awalnya ia pusing dan batuk-batuk, tapi "Belakangan rasanya enak."
Remaja putri di Jakarta itu sekarang merokok lebih dari 1 bungkus berisi 12 batang setiap hari. Menurutnya, sekitar setengah dari teman sekolahnya juga merokok dan sebagian melakukannya terang-terangan di depan orangtua.
Orangtuanya sendiri perncah mencoba melarang, namun gagal. Sekarang, orangtuanya hanya bisa meminta mengurangi.
Pulungan mengatakan, "Tidak ada kendali orangtua. Remaja terus melakukannya karena tidak ada yang melarang."
Pulungan menambahkan bahwa banyak orangtua tidak benar-benar mengerti risiko terkait merokok sehingga banyak yang tidak peduli, terutama di kawasan pedesaan.
Advertisement