Rusia: Kami Tidak Kerja Sama dengan AS untuk Isu Korea Utara

Juru Bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov mengatakan bahwa negaranya tidak sedang bekerja sama dengan AS dalam isu Korea Utara.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 06 Nov 2017, 08:15 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2017, 08:15 WIB
KTT G20-Donald Trump-Vladimir Putin
Presiden AS, Donald Trump (kanan) dan Presiden Rusia Vladimir Putin saling bertatapan saat bertemu di KTT G20, di Hamburg, Jerman (7/7). Keduanya dikabarkan ingin memperbaiki hubungan kedua negara. (AFP Photo/Soul Loeb)

Liputan6.com, Moskow - Juru Bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov mengatakan, negaranya tidak sedang bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam membahas soal isu Korea Utara. Pernyataan itu disampaikan oleh Peskov kepada media Rusia RIA pada Minggu 5 November 2017.

Seperti dikutip dari Radio Free Europe (6/11/2017), hal tersebut diungkapkan oleh Peskov jelang kedatangan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam KTT APEC di Vietnam serta KTT Asia Timur dan KTT ASEAN di Filipina pekan depan.

Dalam pertemuan multilateral akbar itu, Trump dan Putin diprediksi akan melaksanakan pertemuan bilateral demi membahas sejumlah isu krusial, termasuk sikap kedua negara dalam menangani permasalahan Korea Utara.

Meski sebelumnya Peskov menegaskan bahwa Rusia - AS tak bekerja sama dalam isu Korut, sang jubir mengatakan, "Kemungkinan besar keduanya (Trump dan Putin) bisa saja mendiskusikan Korea Utara, jika mereka benar-benar bertemu."

"Mereka mungkin bisa saja membahas soal Suriah," tambah Peskov seperti dikutip dari RFE.

Terakhir Bertemu di KTT G-20 Hamburg 2017

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan pertemuan yang berlangsung tertutup selama dua jam pada 7 Juli 2017 di tengah penyelenggaraan KTT G20 di Hamburg, Jerman.

Dikutip dari BBC, dalam pertemuan pertama mereka itu, keduanya membahas soal dugaan peretasan Rusia dalam pilpres AS 2016.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, Trump menerima pernyataan Putin bahwa Rusia tak berada di balik dugaan peretasan itu.

"Presiden Trump mengatakan, ia telah mendengarkan pernyataan jelas...bahwa pihak berwenang Rusia tidak terlibat (dalam pilpres AS), dan ia menerima pernyataan itu," ujar Lavrov.

Namun ketika Menlu AS Rex Tillerson ditanya apakah pernyataan tersebut akurat, ia menolak untuk menjawab dan mengatakan bahwa "Presiden Putin membantah terlibat dalam hal itu."

Kepada awak media, Tillerson mengatakan bahwa dari pertemuan singkat itu, Donald Trump dan Vladimir Putin terlihat memiliki chemsitry positif.

"Jelas ada chemistry positif antara keduanya. Banyak isu yang dibahas, hampir semuanya. Keduanya tak ada yang mau berhenti berbincang," ujar Tillerson.

"Saya meyakini bahwa Ibu Negara (Melania Trump) telah diundang masuk untuk menghentikan perbincangan itu, namun hal tersebut tak berhasil. Kami terus melanjutkan perbincangan hingga satu jam lagi."

Selain membahas soal dugaan peretasan pilpres AS, Trump dan Putin juga mengangkat beberapa pembahasan lainnya, termasuk perang di Suriah, terorisme, dan keamanan dunia maya.

Sebelum pertemuan yang dilangsungkan tertutup itu dimulai, Trump sempat berbincang singkat dengan Putin di depan awak media.

"Merupakan sebuah kehormatan dapat bertemu denganmu," ujar Trump kepada Putin.

"Saya senang dapat bertemu denganmu langsung," jawab Putin.

 

Jelang Lawatan Trump ke Asia, Dua Jet AS Unjuk Gigi di Semenanjung

Beberapa hari menjelang lawatan Presiden Donald Trump ke Asia Pasifik (yang dimulai pada 5 November 2017 ke Jepang), dua pesawat supersonik AS melakukan latihan pengeboman di atas Semenanjung Korea sebagai unjuk kekuatan kepada Korea Utara.

Jet tempur AU AS B-1B yang dikawal dua jet tempur Korea Selatan melakukan latihan dan simulasi di kawasan pada 2 November 2017.

Stasiun televisi Korea Utara mengecam latihan itu sebagai "latihan serangan nuklir yang mengejutkan" dan mengatakan "imperialis Amerika berlaku layaknya gangster" yang hendak memprovokasi perang nuklir.

Selain itu, jelang lawatan Trump ke Jepang, Korut turut mengumbar ancaman lewat media pemerintah mereka, KCNA.

"Amerika Serikat harus melupakan gagasan tak masuk akal bahwa Pyongyang akan patuh terhadap sanksi internasional dan menanggalkan senjata nuklirnya," papar KCNA seperti dikutip dari News.com.au, Minggu 5 November 2017.

"Senjata nuklir berharga untuk pertahanan negara kami akan semakin meningkat tajam dari biasanya," tambah siaran tersebut.

Tayangan itu juga menjelaskan, Korea Utara akan menghentikan produksi senjata rudal dan nuklirnya jika, "Kebijakan agresif AS terhadap DPRK (nama resmi Korea Utara) berhenti untuk selama-lamanya."

Meski begitu, KCNA menyatakan bahwa Korut tetap menolak desakan AS dan komunitas internasional yang menginginkan denuklirisasi di negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu.

"Sebaiknya mereka berhenti bermimpi kala berbicara soal denuklirisasi dengan kami," tambah KCNA.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya