Amnesty International: Krisis Rohingya Adalah Sistem Apartheid

Laporan investigasi independen Amnesty International menyebut, krisis kemanusiaan yang terjadi di Rohingya merupakan sistem Apartheid.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 21 Nov 2017, 21:40 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2017, 21:40 WIB
PHOTO: Potret Pengungsi Muslim Rohingya Saat Menunggu Antrean Makanan
Pengungsi Muslim Rohingya menunggu antrean distribusi makanan saat hujan di kamp pengungsi Nayapara, Bangladesh (6/10). Bangladesh akan membangun kamp pengungsi terbesar di dunia untuk menampung 800.000 orang. (AFP PHOTO/Fred Dufour)

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi pegiat hak asasi manusia Amnesty International memaparkan hasil investigasi independen mereka yang menguak temuan baru seputar krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar. Paparan itu disampaikan di Jakarta pada Selasa 21 November 2017.

Anggota Tim Pencari Fakta Komite HAM PBB untuk Myanmar (TPF Myanmar), Marzuki Darusman turut hadir dan ikut merespons paparan hasil investigasi serta menyampaikan pernyataan sesuai dengan bidang kepakarannya

Investigasi itu merupakan hasil kerja selama dua tahun -- sepanjang November 2015 hingga September 2017 -- yang dilakukan oleh tim investigasi Amnesty International di sejumlah daerah di Rakhine, Myanmar.

"Dari hasil investigasi itu, kami menyimpulkan bahwa etnis Rohingya di Rakhine menerima berbagai bentuk kebijakan diskriminatif yang sistematis dari pemerintah, militer, dan kelompok warga mayoritas di Myanmar," kata Elise Tillet, ketua tim investigasi pencari fakta independen Amnesty International di Jakarta, Selasa (21/11/2017).

"Beragam diskriminasi berbasis rasisme yang tersistematis, serta berbagai pembatasan hak asasi manusia di dalam kebijakan dan hukum pemerintahan di Myanmar, mengakibatkan etnis Rohingya menjadi kelompok yang liyan (dianggap beda) dan terpinggirkan. Maka dari pada itu, kelompok etnis Rohingya menjadi korban kejahatan apartheid," tambah Tillet.

Menurut Tillet dan kawan-kawan, etnis Rohingya di Rakhine mengalami beragam bentuk pembatasan HAM yang merupakan bukti atas kejahatan apartheid.

Pembatasan itu berupa restriksi mobilitas, akses kesehatan, akses pendidikan, pemenuhan kebutuhan hidup mendasar seperti makanan, serta pemenuhan hak sipil dan politik.

"Untuk melakukan perpindahan dari satu kota ke kota lain, etnis Rohingya harus memiliki dokumen izin mobilitas yang mesti ditandatangani oleh aparat keamanan Myanmar setempat. Mereka juga harus melaksanakan sejumlah mekanisme pemeriksaan yang ekstensif bahkan sarat dengan kekerasan di pos keamanan di perbatasan antar daerah. Dan hal itu tidak dialami oleh kelompok etnis lain," papar Tillet.

"Restriksi itu juga memaksa mereka melakukan mobilitas melalui jalur aliran sungai di Rakhine, karena mereka dilarang menggunakan jalan raya di kawasan. Padahal, saya tegaskan, jalan yang menghubungkan antar desa atau daerah tersedia di sana," tambahnya.

Penbatasan mobilitas lain yang dialami oleh kelompok Rohingya adalah pemberlakuan jam malam.

Tillet melanjutkan, restriksi mobilitas yang dialami oleh etnis Rohingya ikut menghasilkan pembatasan lain yang dialami mereka.

"Mereka jadi sulit untuk mengakses fasilitas kesehatan, sulit untuk bepergian ke masjid tempat mereka beribadah, dan tidak bisa pergi bertani, berladang, atau berlayar mencari ikan. Bahkan ada yang mengatakan kepada kami bahwa mereka tidak boleh pergi ke kota-kota besar," papar Tillet.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menambahkan bahwa, sumber dari segala bentuk restriksi serta pembatasan pemenuhan HAM yang dialami oleh Rohingya adalah produk hukum Myanmar Citizenship Act 1982 yang membantah eksistensi kelompok etnis tersebut.

Melengkapi pernyataan Usman, Tillet mengatakan bahwa diskriminasi dan segregasi itu terjadi sistemik dari pemerintah pusat hingga ke daerah.

"Semua institusi itu di bawah otorisasi Kementerian Dalam Negeri Myanmar yang masih banyak dipengaruhi oleh militer. Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin sipil tidak memiliki otoritas yang kuat," tambahnya.

Dari berbagai temuan hasil investigasi itu, Elise Tillet, selaku perwakilan Amnesty International mengimbau agar Myanmar harus menghentikan segala kebijakan yang mendiskriminasi dan mensegregasi etnis Rohingya.

Dan pada akhirnya, "Komunitas internasional perlu melakukan intervensi, jika Myanmar tidak melakukan apa-apa," papar Tillet.

Anggota TPF Myanmar Menyambut Baik Langkah Amnesty International

Anggota Tim Pencari Fakta Komite HAM PBB untuk Myanmar (TPF Myanmar), Marzuki Darusman yang hadir dalam perhelatan itu, menyambut baik paparan investigasi independen Amnesty International.

"Suatu sumbangan yang penting dalam melakukan konseptualisasi atas problematika yang sering disebut sebagai krisis Rohingya itu. Tim pencari fakta tentu menyambut baik laporan itu dan mudah-mudahan kita bisa berinteraksi untuk lebih mendalami proses serta seluk- beluk mereka mencapai kesimpulan tersebut," papar Marzuki.

"Lembaga swadaya dan organisasi seperti Amnesty International telah berkali-kali mengangkat penindasan terhadap komunitas Rohingya dari berbagai aspek tertentu. Temuan itu menunjukkan adanya indikasi unsur pidana pelanggaran berat dan serius terhadap hak asasi manusia (gross human rights violation)," tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Marzuki juga memaparkan mengenai informasi terbaru seputar kinerja TPF Myanmar hingga saat ini.

"Untuk awal ini, kita sudah melakukan berbagai pengumpulan data. PBB memperpanjang tugas kita hingga September 2018 nanti. Saat itu, kita baru bisa menyampaikan laporan final ke Komisi HAM PBB," papar pria yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung RI itu.

Meski begitu, Marzuki mengatakan simpulan sementara bahwa, "Kekerasan masih berlangsung meski Myanmar telah mengklaim bahwa kekerasan akan atau sudah dihentikan. Kenyataannya, kekerasan itu masih berlangsung. Situasi di sana juga masih belum stabil," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya