Kapal Perang Inggris Akan Melalui Laut China Selatan, Bikin Kesal Tiongkok?

Sebuah kapal perang Inggris akan berlayar melalui kawasan maritim yang kerap disengketakan, Laut China Selatan pada bulan depan

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 14 Feb 2018, 14:30 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2018, 14:30 WIB
Kapal perang AL Inggris, HMS Sutherland (Wikimedia Commons)
Kapal perang AL Inggris, HMS Sutherland (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Canberra - Sebuah kapal perang Inggris akan berlayar melalui kawasan maritim yang kerap disengketakan, Laut China Selatan pada bulan depan. Demikian disampaikan Menteri Pertahanan Inggris.

Menhan Inggris Gavin Williamson mengatakan bahwa rencana pelayaran Kapal AL Inggris HMS Sutherland itu dilakukan demi menegaskan status kebebasan bernavigasi di kawasan Laut China Selatan. Demikian seperti dikutip dari The Guardian (14/2/2018).

"(Dari Australia) kapal itu akan berlayar melalui Laut China Selatan (untuk menuju Inggris) dan menegaskan bahwa Angkatan Laut kami punya hak untuk melakukan itu," kata Williamson di Australia, saat melakukan kunjungan dua hari ke Sydney dan Canberra.

Tak jelas apakah HMS Sutherland akan melintasi wilayah nautika 12 mil yang menjadi sentral persengkataan antara negara di kawasan Laut China Selatan -- dan juga menjadi lokasi pangkalan militer Tiongkok di Gugus Terumbu Karang dan Pulau Reklamasi Spratly.

Sebelumnya, wilayah nautika 12 mil itu pernah dilintasi oleh kapal perang Amerika Serikat pada tahun lalu dan menuai kecaman keras dari Tiongkok.

Kendati demikian, Williamson mengatakan, "Kami sangat mendukung langkah yang (pernah) dilakukan AS, dan sangat mendukung atas apa yang telah AS lakukan," mengindikasikan bahwa HMS Sutherland akan melakukan hal yang sama.

Williamson juga mengatakan bahwa sangat penting bagi koalisi AS, seperti Inggris dan Australia, untuk menekankan 'kepentingan'-nya di Laut China Selatan -- yang selama ini dipercaya menjadi lokasi deposit minyak dan gas berlimpah.

"Amerika Serikat meminta negara lain untuk berbuat lebih. Dan ini menjadi kesempatan bagi Inggris dan Australia untuk melakukan lebih, dan mempraktikan kepemimpinan (di kawasan)," lanjut sang Menhan Inggris.

Respons China

Merespons rencana tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan, "jangan mencari-cari masalah, karena sebelumnya tak ada masalah."

Sementara itu, media terafiliasi pemerintah Tiongkok, Global Times menulis bahwa rencana tersebut 'hanyalah justifikasi Inggris untuk menunjukkan eksistensi dan mencari-cari perhatian'.

Inggris -- yang tahun depan akan meninggalkan Uni Eropa -- diprediksi akan mendekat ke China untuk menjalin kerja sama di bidang ekonomi dan perdagangan, guna menambal celah kerja sama yang hilang usai keluar dari UE.

Posisi Ambivalen China Bagi Inggris

Laut China Selatan (Intelligence Specialist 1st Class John J Torres)
Laut China Selatan (Intelligence Specialist 1st Class John J Torres)

Dalam sebuah kesempatan terpisah, namun tetap dalam rangkaian kunjungannya ke Australia, Menhan Inggris Gavin Williamson mengatakan bahwa China 'memiliki potensi untuk sejumlah kerja sama, namun juga memiliki ambisi yang membahayakan kepentingan keamanan nasional'.

"Inggris dan Australia memandang China sebagai negara yang penuh dengan kesempatan kerja sama, tapi kami tak ingin dibutakan pada ambisi China. Dan kami tetap harus mempertahankan kepentingan keamanan nasional kami."

"Kami juga harus menjamin bahwa segala bentuk langkah yang merusak harus diatasi," lanjutnya.

Klaim Sepihak Tiongkok di Laut China Selatan

Citra satelit yang menunjukkan pangkalan militer Tiongkok di Laut China Selatan (sumber:CSIS)
Citra satelit yang menunjukkan pangkalan militer Tiongkok di Laut China Selatan (sumber:CSIS)

Tahun lalu, Tiongkok mengklaim bahwa mereka memiliki hak kedaulatan yang tak terbantahkan atas kawasan Laut China Selatan dan pulau-pulau yang ada di dalamnya.

Tiongkok melandasi klaim kedaulatan sepihak itu dengan menggunakan konsep demarkasi semu 'the nine-dash line' atau sembilan garis putus, mencakup seluruh kawasan gugus kepulauan Spratly, Paracel, Pratas, Macclesfield Bank, dan Scarborough Shoal -- secara akumulatif membentuk sepertiga kawasan Laut China Selatan.

Namun, klaim tersebut ditentang oleh banyak negara, meliputi, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, Indonesia, termasuk Amerika Serikat -- meski berada jauh dan berbeda kawasan.

Kritik AS berfokus pada pembangunan fasilitas militer China di pulau serta daratan reklamasi di kawasan. Washington juga menyebut, infrastruktur itu akan membatasi juga membahayakan navigasi perairan internasional.

Beijing telah berulang kali memperingatkan AS agar menahan diri dan tidak terlibat dalam perselisihan tersebut. Negeri Tirai Bambu juga mengklaim bahwa kebebasan patroli navigasi -- seperti yang hendak direncanakan AS -- merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan China.

"Kami mendesak Amerika Serikat untuk menghormati fakta serta berbicara dan bertindak hati-hati agar tidak membahayakan perdamaian dan stabilitas Laut China Selatan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying kepada wartawan pada sebuah konferensi pers Januari lalu.

"Tindakan kami di Laut China Selatan masuk akal dan adil. Tidak peduli apa yang terjadi di negara lain, apa yang mereka katakan, atau apa yang ingin mereka lakukan, tekad China untuk melindungi kedaulatan dan hak maritimnya di Laut China Selatan tidak akan berubah," tegasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya