Donald Trump: AS Telah Jatuhkan Sanksi Terbesar untuk Korea Utara

Donald Trump, mengumumkan bahwa pemerintahannya telah menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Korea Utara.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Feb 2018, 11:03 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2018, 11:03 WIB
Ekspresi Donald Trump Saat Hadiri National Prayer Breakfast
Ekspresi wajah Presiden AS Donald Trump saat menghadiri National Prayer Breakfast atau di sebuah hotel di Washington DC (8/2). Dalam acara itu Trump mengatakan bahwa iman adalah "pusat kehidupan dan kebebasan Amerika." (AFP Photo/Mandel Ngan)

Liputan6.com, Washington DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pada Jumat 23 Februari waktu setempat, mengumumkan bahwa pemerintahannya telah menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Korea Utara.

Sanksi berlabel 'yang terbesar yang pernah diberikan oleh AS pada negara mana pun' itu secara spesifik menargetkan kapal, firma perkapalan, dan perdagangan Korea Utara. Demikian seperti dikutip dari CNN (25/2/2018).

"Kami telah menjatuhkan sanksi terhadap Korea Utara -- sanksi terbesar yang pernah kami berikan pada negara mana pun. Dan kami berharap sesuatu yang positif dapat terjadi," kata Trump mengumumkan sanksi terbaru terhadap Korut dalam pidatonya di Conservative Political Action Conference Jumat lalu.

Sanksi itu menyasar total 56 entitas, yang terdiri dari 27 perusahaan perkapalan dan perdagangan dan 28 kapal, baik yang terdaftar di atau berbendera dari seluruh dunia, termasuk Korea Utara, China, Singapura, sampai Tanzania.

Dari total tersebut, 16 di antaranya merupakan firma perkapalan Korea Utara, termasuk Chonmyong Shipping Company Limited, Hapjanggang Shipping dan Korea Achim Shipping Co.

Sementara itu, 9 firma perkapalan dan 9 kapal internasional juga masuk dalam daftar sanksi itu. Kapal-kapal itu meliputi; Asia Bridge 1, Hao Fan 2, Hao Fan 6 -- ketiganya masuk daftar hitam PBB pada Oktober 2017 -- dan Xin Guan Hai.

Sedangkan firma internasional yang terkena sanksi meliputi, Shandong, Weihai World Shipping Freight (berbasis di China), Shanghai-Dongfeng Shipping Co. Ltd (berbasis di China), dan Shen Zhong International Shipping (berbasis di Hong Kong).

Sanksi itu juga menyasar seorang warga negara taiwan, Tsang Yung Yuan, yang diketahui melakukan kerja sama ekspor batu bara dengan seorang broker Korea Utara berbasis di Rusia.

Mengomentari lebih lanjut sanksi AS terhadap Korea Utara itu, Menteri Keuangan Amerika Serikat Steve Mnuchin mengatakan, "Kami secara agresif menargetkan segala sumber daya ekonomi ilegal yang digunakan oleh Korea Utara ... termasuk berupaya untuk memblokade kapal, firma, dan entitas di seluruh dunia yang beraktivitas mengatasnamakan mereka."

Akan Ada Fase Kedua

Ekspresi Donald Trump Saat Hadiri National Prayer Breakfast
Gaya Presiden AS Donald Trump saat memberikan pidato dalam acara National Prayer Breakfast di sebuah hotel di Washington DC (8/2). Acara tahunan ini dihadiri para pemimpin agama, politisi dan pejabat tinggi pemerintah. (AFP Photo/Mandel Ngan)

Setelah mengumumkan apa yang disebutnya sanksi "terbesar yang pernah ada" terhadap Korea Utara, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, juga mengancam "fase kedua" jika tindakan tersebut tidak efektif. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia.

"Jika sanksinya tidak berhasil, kita harus maju ke fase dua, dan fase kedua mungkin sangat berat," kata Trump, berbicara di samping Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull yang sedang berkunjung.

Trump tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan "fase dua," tapi mengisyaratkan hal itu akan "sangat, sangat naas bagi dunia."

"Hanya waktu yang akan bicara," tambahnya.

Baik sebagai kandidat maupun sebagai presiden, Trump berulang kali menjadi berita utama terkait Pyongyang. Dia mengancam akan "benar-benar menghancurkan" Korea Utara dan telah menyarankan agar China "menyingkirkan" pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.

Menyusul Laporan Jepang

Sanksi itu muncul setelah Kementerian Luar Negeri Jepang menduga kuat bahwa Korea Utara kembali melanggar sanksi internasional yang ditetapkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk membatasi program rudal balistik dan nuklir The Hermit State -- julukan Korut.

Dugaan itu muncul setelah patroli militer Jepang melihat transfer muatan yang dilakukan antara kapal bermarka Tiongkok dengan kapal Korea Utara di teritori internasional Laut China Timur pada Jumat pekan lalu.

Menurut pantauan patroli militer Jepang, kapal Korea Utara itu diketahui berjenis tanker bernama Yu Jong 2 yang berlayar dekat dengan sebuah kapal kecil tak berbendera, tetapi beraksara Tiongkok pada badannya.

Aksara Tiongkok pada kapal kecil tak berbendera itu bertuliskan 'Min Ning De You 078' yang berarti 'Kapal Tanker 078 Provinsi Fujian, Kota Ningde'.

"Kedua kapal itu berlokasi sekitar 250 km dari lepas pantai Shanghai, China," kata pihak Kementerian Luar Negeri Jepang seperti dikutip dari Daily Mail.

"Berdasarkan kajian mendalam, Pemerintah Jepang menduga kuat bahwa mereka melakukan transfer muatan antar kapal yang berlangsung di lautan -- yang jelas dilarang oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB," lanjut keterangan Kemlu Jepang.

Tokyo juga mengatakan bahwa mereka telah melaporkan insiden itu kepada Dewan Keamanan PBB dan mengabarkannya kepada negara lain yang relevan -- kemungkinan Korea Selatan dan Amerika Serikat selaku sekutu Jepang.

Tiga Kali Sepanjang 2018

Jika benar adanya, insiden itu merupakan ketiga kalinya Jepang melaporkan peristiwa serupa yang melibatkan Korea Utara sepanjang tahun 2018, di mana terjadi sebuah transfer muatan antar kapal yang berlangsung di lautan -- sebuah pelanggaran terhadap sanksi Resolusi Dewan Keamanan PBB yang ditetapkan untuk membatasi program rudal balistik dan nuklir The Hermit State.

Dua insiden lainnya terjadi awal tahun 2018, yang semuanya melibatkan kapal tanker Korea Utara Rye Song Gang 1 -- kapal yang masuk dalam daftar hitam komunitas syahbandar internasional seperti diatur oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Tak hanya itu, insiden terbaru tersebut juga terjadi di tengah animo diplomasi harmonis antara Korea Utara - Korea Selatan yang memanfaatkan gelaran Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018. Jika benar adanya, insiden itu diprediksi mampu mencoreng animo diplomasi harmonis tersebut.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya