Wanita Rusia Ini Dituduh Memata-Matai AS, Menyusup di Kampanye Pilpres 2016

Pemerintah AS menuduh seorang wanita Rusia melakukan aksi mata-mata atas perintah langsung dari Moskow terkait campur tangan pemilu AS 2016.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 17 Jul 2018, 12:34 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2018, 12:34 WIB
20170114-Bendara-AS-AFP1
Pekerja memotret bendera Amerika Serikat di National Capital Flag Company, Alexandria Virginia, AS (10/1). Dalam acara tersebut Trump akan memberikan pidato resmi pertamanya sebagai presiden setelah membacakan sumpah. (AFP/Andrew Caballero Reynolds)

Liputan6.com, Washington DC - Seorang wanita asal Rusia --sebagai terdakwa terakhir-- yang dituntut dalam penyelidikan federal terkait campur tangan pada pemilu presiden AS pada 2016, disebut mendapat perintah langsung dari pusat kekuasaan Rusia di Kremlin, Moskow.

Maria Butina (29), nama terdakwa wanita itu, dituduh terlibat dalam "organisasi penyusup yang memiliki pengaruh dalam politik Amerika, dan bertujuan memajukan kepentingan Federasi Rusia".

Dikutip dari Independent.co.uk pada Selasa (17/7/2018), Butina bersama beberapa pejabat militer Rusia didakwa dalam penyidikan dugaan campur tangan pemilu AS 2016, yang dipimpin oleh Penasihat Khusus Robert Mueller.

Sebagian besar dari keseluruhan terdakwa adalah perwira intelijen, yang diduga kuat melakukan peretasan via serangan terkoordinasi di Komite Nasional Demokrat, kampanye Donald Trump, dan kantor pribadi Hillary Clinton.

Kehadiran sosok Butina dapat dilihat dalam rekaman video di salah satu kampanye Donald Trump pada 2015 lalu, di mana ia mengajukan pertanyaan tentang bagaimana visi tehadap hubungan AS dan Rusia.

Presiden Trump menjawab bahwa dia mempertimbangkan untuk mencabut sanksi terhadap Kremlin, mengatakan kepadanya: "Saya yakin saya akan berteman baik dengan Putin ... Saya tidak berpikir Anda akan membutuhkan sanksi."

Butina, yang ditangkap pada Jumat, 13 Juli 2018, juga dituduh bekerja di bawah perintah langsung salah seorang pejabat tingkat tinggi di pemerintahan Rusia, yang konon dulunya merupakan sosok penting di parlemen dan bank sentral Rusia.

Tuduhan itu juga berkaitan dengan temuan bukti bahwa Butina pernah menjembatani oknum pejabat tinggi Rusia tersebut dengan beberapa figur politik AS, yang dekat atau terkait dengan kampanye Trump pada pemilu 2016.

"Orang nomor satu AS (Donald Trump) bekerjasama dengan Butina untuk mengatur perkenalan (orang Rusia) dengan orang-orang Amerika yang memiliki pengaruh politik, termasuk organisasi yang mempromosikan hak-hak senjata ... untuk tujuan memajukan agenda Federasi Rusia," bunyi surat dakwaan.

Ditambahkan oleh laporan surat kabar Washington Post, advokasi yang dilakukan oleh Butina terhadap isu senjata dan ketertarikan dalam politik AS telah terdokumentasi dengan baik.

Koran yang berbasis di Washington DC itu menggambarkan Butina sebagai "aktivis progresif" yang "mendirikan kelompok berjuluk Hak Beruang Senjata" pada tahun 2017.

Kala itu, Butina membantah tuduhan pemerintah AS bahwa ia bekerja sebagai agen asing atau mewakili kepentingan Rusia.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

AS Dakwa 12 Agen Intelijen AS

Robert Mueller, Kepala Penyelidik Khusus Kementerian Hukum dan Kehakiman AS yang menangani dugaan skandal campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 (AP)
Robert Mueller, Kepala Penyelidik Khusus Kementerian Hukum dan Kehakiman AS yang menangani dugaan skandal campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 (AP)

Sementara itu, tim Juri Federal Amerika Serikat, atas diskresi Kejaksaan Agung AS, mendakwa 12 agen dan perwira Badan Intelijen Militer Rusia (GRU) terkait dugaan campur tangan mereka dalam Pilpres AS 2016.

Dakwaan itu merupakan bagian dari investigasi Penyelidik Khusus Kementerian Kehakiman AS, Robert Mueller atas kasus dugaan campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 --atau yang populer disebut dengan nama Russian Meddling-- yang berdampak pada kemenangan Donald Trump dalam pemilu.

Para terdakwa dituduh terlibat dalam upaya berkelanjutan untuk meretas jaringan internet Kampanye Kongres Demokrasi Partai Demokrat, Komite Nasional Partai Demokrat, dan tim kampanye Capres Hillary Clinton. Demikian seperti dikutip dari ABC News pada Minggu, 15 Juli 2018.

Dalam pembacaan dakwaan pada Jumat, 13 Juli, Wakil Jaksa Agung Rod Rosenstein mengatakan bahwa ke-12 agen Rusia itu "turut berkorespondensi dengan sejumlah figur Amerika Serikat" saat melakukan tindakan yang dituduhkan kepada mereka.

Namun, Rosenstein melanjutkan bahwa "orang-orang AS itu tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi bagian komplotan para intelijen Rusia tersebut."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya