Liputan6.com, Manila - Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, mengancam akan membunuh para perwira polisi yang terlibat korupsi, termasuk mereka yang terjerumus dalam pengadaan obat-obatan terlarang dan kejahatan lainnya.
Para pejabat di kepolisian Filipina mengatakan, lebih dari 100 polisi digiring ke Istana Kepresidenan untuk bertemu langsung dengan Duterte. Banyak dari mereka yang menghadapi tuntutan administratif dan pidana, termasuk kasus perkosaan, penculikan dan perampokan.
Baca Juga
Quincy Kammeraad, Kiper Filipina yang Gawangnya Kebobolan 7 Kali oleh Timnas Indonesia 7 Tahun Lalu Kini Jadi Pahlawan di Piala AFF 2024
Harga Mentereng Kristensen, Pemain Filipina yang Pupuskan Asa Indonesia di Piala AFF 2024
Piala AFF 2024 Sedang Berlangsung, Tonton Live Streaming Pertandingan Timnas Indonesia VS Filipina di Sini
Polisi nasional, yang pernah disebut oleh Duterte "korupsi hingga akar", tahun lalu telah menjalani pembersihan internal sejak Duterte gencar memberantas peredaran obat-obat terlarang di seantero Filipina.
Advertisement
Duterte kemudian mengizinkan mereka untuk bergabung kembali dengan pasukan pemberantas narkoba, karena badan anti-narkotika kekurangan personel dan senjata untuk menumpas ancaman narkoba.
"Jika kalian tetap seperti ini, si kurang ajar, saya sungguh-sungguh akan membunuh Anda," ucap Rodrigo Duterte kepada polisi dalam siaran langsung jaringan TV lokal, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Rabu (8/8/2018).
Sejumlah kasus dari lembaga kepolisian akan ditinjau, tetapi Duterte memperingatkan, "Saya memiliki unit khusus yang akan mengawasi Anda seumur hidup dan jika Anda melakukan kesalahan kecil, saya akan meminta mereka untuk membunuh Anda."
Terkait dengan nasib keluarga polisi, Duterte menyampaikan, "Jika polisi-polisi kurang ajar ini mati, jangan protes kepada kami dan meneriakkan soal 'hak asasi manusia, proses hukum', karena saya sudah memperingatkan Anda."
Ancaman publik seperti itu, bersama dengan lebih dari 4.500 tersangka narkoba yang tewas dalam 'perang' melawan narkoba, telah memicu kekhawatiran di pemerintah barat dan pengawas hak asasi manusia sejak Rodrigo Duterte terpilih sebagai Orang Nomor Satu di Filipina pada pertengahan 2016.
Duterte berjanji untuk terus melanjutkan kampanyenya tersebut hingga hari terakhir masa jabatan enam tahunnya. Ia kerap menyatakan bahwa ia siap dipenjara, meski menyangkal telah memberikan sanksi pembunuhan di luar proses hukum.
Polisi mengatakan, hampir 150.000 tersangka terkait kasus narkoba telah ditangkap dan puluhan penegak hukum telah tewas dalam aksi pemberantasan narkoba Duterte.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Salah Kira Sebagai Pemberontak, Tentara Filipina Tembak Mati 6 Anggota Polisi
Sementara itu, tentara Filipina dilaporkan terlibat insiden salah tembak, yang mengakibatkan enam polisi tewas, dan melukai sembilan orang lainnya.
Menurut salah seorang jenderal angkatan darat, insiden tersebut terjadi di tengah operasi pengejaran terhadap gerilyawan Maois di sebuah hutan lebat di Pulau Samar, di wilayah tengah Filipina.
Dikutip dari South China Morning Post pada Selasa 26 Juni 2018, satu peleton tentara dikabarkan tengah beroperasi di sebuah desa terpencil di pulau Samar, ketika mereka salah mengira sekelompok polisi sebagai gerilyawan Tentara Rakyat Baru (NPA) yang beraliran komunis.
Menurut Mayor Jenderal Raul Farnacio, karena salah mengira, pasukan tentara melepaskan tembakan panjang. Ia menyebut insiden itu sebagai "hal yang tidak menguntungkan" dan "memalukan" bagi Filipina.
"Ketika Anda berada di daerah yang bervegetasi tinggi, sulit untuk membedakan siapa yang Anda hadapi," katanya, seraya menyebut tidak ada korban di pihak tentara.
"Pihak yang ditembak juga membalas, sehingga terjadi bentrok yang memakan korban jiwa. Jarak mereka saling berdekatan," lanjut Mayor Jenderal Farnacio.
Kepala Kepolisian Nasional Filipina, Oscar Albayalde, mengatakan telah mengerahkan anak buahnya ke lokasi kejadian untuk kepentingan penyelidikan.
Di lain pihak, pasukan NPA disebut telah memerangi pemerintah Filipina selama hampir 50 tahun. Akibat konflik tidak berkesudahan tersebut, lebih dari 40.000 orang tewas, dan pertumbuhan ekonomi di wilayah yang kaya sumber daya alam itu terhambat.
Advertisement