Respons Sanksi AS, Anggota Parlemen Rusia: Moskow Harus Kirim Nuklir ke Suriah

Seorang anggota parlemen Rusia mengatakan, Moskow harus memikirkan tanggapan asimetris, seperti penyebaran senjata nuklir taktis, untuk merespons sanksi AS

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 26 Agu 2018, 18:02 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2018, 18:02 WIB
Serangkaian Senjata Nuklir Terbaru Rusia Diuji Coba
Rudal balistik antarbenua Sarmat Rusia terbaru saat uji coba dari lokasi yang tidak diketahui di Rusia. Presiden Vladimir Putin mengumumkan bahwa Rusia telah mengembangkan serangkaian senjata nuklir terbaru. (RU-RTR Russian Television via AP)

Liputan6.com, Moskow - Seorang anggota parlemen Rusia mengatakan, kebijakan Amerika Serikat (AS) untuk terus menekan negaranya --lewat sejumlah sanksi ekonomi-- telah melewati batas "garis merah" dan Moskow harus memikirkan tanggapan asimetris, seperti penyebaran senjata nuklir taktisnya di luar negeri, ujar politisi itu kepada kantor berita Rusia TASS Jumat pekan ini.

"Sudah saatnya untuk merenungkan tanggapan asimetris ke AS, yang sekarang sedang disarankan oleh para ahli dan dimaksudkan tidak hanya untuk mengimbangi sanksi mereka, tetapi juga untuk melakukan beberapa prospek langkah balasan,"kata Vladimir Gutenev, wakil kepala komite kebijakan ekonomi majelis rendah Parlemen Rusia, seperti dikutip dari TASS, Minggu (26/8/2018).

Di antara langkah-langkah tersebut, pejabat itu menyebut beberapa opsi seperti: pengerahan senjata nuklir taktis Rusia di negara lain, seperti Suriah, penggunaan cryptocurrency yang terkait dengan emas untuk ekspor senjata Rusia, dan penangguhan sejumlah perjanjian dengan Amerika Serikat, termasuk proliferasi teknologi rudal.

"Kita harus mengikuti saran dari ahli, yang mengatakan bahwa Rusia harus menunda penerapan perjanjian pada non-proliferasi teknologi rudal, dan juga mengikuti langkah AS dengan mulai menyebarkan senjata nuklir taktis kita di negara-negara asing. Ada kemungkinan bahwa Suriah, di mana kita memiliki pangkalan udara yang dilindungi dengan baik, dapat menjadi salah satu dari negara-negara itu, "kata Gutenev.

Anggota parlemen itu juga menambahkan, untuk menanggapi kemungkinan "upaya AS yang akan menggagalkan kesepakatan transaksi persenjataan Rusia dan pengadaan barang sipil," maka, Moskow harus "mempertimbangkan kemungkinan melakukan transaksi dalam mata uang kripto yang terkait dengan nilai emas."

"Dan saya yakin ini akan menjadi opsi yang sangat menarik bagi China, India, dan negara-negara lain juga," katanya.

Menurut Gutenev, seluruh paket tindakan itu "bisa menjadi argumen yang sangat serius" demi Rusia.

"Dalam tinju, seseorang tidak bisa hanya menghindari pukulan, tetapi juga harus menyerang. Terutama ketika semua aturan telah dilanggar dan wasit - seperti WTO dan lembaga internasional lainnya - lebih memilih untuk tetap diam," katanya.

Mengomentari sanksi AS yang sudah ada, Gutenev mengatakan bahwa mereka tidak mungkin memberikan dampak kerusakan serius pada industri pertahanan Rusia.

"Program substitusi impor telah menghasilkan hasil yang sangat baik, pemasok alternatif telah ditemukan," kata anggota Parlemen Rusia itu.

"Namun, kami prihatin tentang fakta bahwa sanksi masih memiliki momentum dan mungkin cukup mengancam," tambahnya.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

Simak video pilihan berikut:

Sanksi Teranyar AS untuk Rusia

Serangkaian Senjata Nuklir Terbaru Rusia Diuji Coba
Kendaraan hipersonik Avangard saat peluncuran di lokasi yang tidak diungkapkan di Rusia. Presiden Vladimir Putin mengumumkan bahwa Rusia telah mengembangkan serangkaian senjata nuklir baru. (RU-RTR Russian Television via AP)

Pada Rabu, 22 Agustus, AS menghantam Rusia dengan lebih banyak sanksi ekonomi atas dugaan keterlibatan Moskow dalam kasus peracunan mantan mata-mata Rusia, Sergei Skripal dan putrinya Yulia di Salisbury dengan racun saraf Novichok, dekat London pada 4 Maret 2018 lalu.

Kementerian Luar Negeri AS menuduh bahwa Rusia telah melanggar Kontrol Senjata Kimia dan Biologi dan Undang-Undang Penghapusan Peperangan tahun 1991 karena mendalangi serangan itu.

Sanksi itu berupa pembatasan untuk produk penggunaan berganda, pembatasan ekspor AS ke Rusia untuk sejumlah barang, seperti elektronik, komponen dan teknologi untuk minyak dan industri gas, serta pembatasan pertukaran pengetahuan terkait keamanan nasional AS.

Bersamaan dengan itu, AS juga mempertimbangkan kemungkinan sanksi yang jauh lebih keras untuk diambil dalam waktu tiga bulan mendatang.

Sanksi lanjutan dapat berupa penurunan, pembatasan hingga penangguhan lengkap hubungan diplomatik bilateral Washington-Moskow, larangan keseluruhan atas ekspor barang-barang AS ke Rusia dan impor barang-barang Rusia, kecuali untuk makanan, pemberlakuan izin untuk setiap pesawat udara yang dikendalikan pemerintah Rusia sebelum mendarat di Amerika Serikat dan hak veto Washington atas semua pinjaman ke Moskow dari organisasi keuangan internasional.

Namun pihak berwenang AS mengatakan mereka tidak akan suka menggunakan tahap kedua pembatasan. Untuk itu Rusia harus mengajukan argumen yang meyakinkan bahwa mereka tidak akan melanggar undang-undang senjata kimia internasional dan juga mengizinkan inspeksi di tempat oleh PBB dan pengamat asing independen untuk menjamin pemerintah tidak menggunakan senjata kimia yang melanggar hukum internasional.

Sergei Skripal, yang telah dihukum di Rusia karena menjadi mata-mata ganda untuk Inggris dan putrinya Yulia, 33, ditemukan tidak sadarkan diri di bangku dekat pusat perbelanjaan Maltings di Salisbury, Inggris pada tanggal 4 Maret.

Polisi mengatakan mereka terkena agen saraf. Kemudian, London mengklaim bahwa racun yang digunakan adalah jenis Novichok yang diduga dikembangkan di Rusia.

Inggris bergegas menuduh Rusia terlibat, sementara gagal untuk memberikan bukti. Spesialis dari laboratorium militer Inggris mengatakan, mereka tidak dapat mengidentifikasi asal-usul zat yang digunakan untuk meracuni Skripal.

Di sisi lain, Moskow membantah tuduhan yang menyatakan bahwa baik Uni Soviet maupun Rusia tidak pernah melakukan penelitian tentang bahan kimia beracun itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya