Rusia Diduga Dalang Serangan Misterius terhadap Diplomat AS di Kuba dan China

Badan intelijen yang menyelidiki serangan misterius penyebab personel AS di China dan Kuba mengalami cedera otak menuduh Rusia sebagai tersangka utama. Benarkah?

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 13 Sep 2018, 07:01 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2018, 07:01 WIB
Ilustrasi Bendera Amerika Serikat (Wikimedia Commons)
Ilustrasi Bendera Amerika Serikat (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Washington DC - Badan intelijen yang menyelidiki "serangan" misterius penyebab personel diplomatik Amerika Serikat di China dan Kuba mengalami cedera otak menuduh Rusia sebagai tersangka utama.

Hal itu diungkapkan oleh sejumlah pejabat Amerika yang memaparkannya kepada outlet media AS, NBC News, demikian seperti dilanir dari NBCnews.com, Kamis (13/9/2018).

Kecurigaan bahwa Rusia kemungkinan berada di belakang dugaan serangan didukung oleh bukti dari penyadapan komunikasi, yang dikenal di dunia mata-mata sebagai intelijen berbasis sinyal atau signal intelligence (SIGINT). Itu dikumpulkan selama penyelidikan yang panjang dan berkelanjutan yang melibatkan Biro Penyelidik Federal (FBI), Badan Intelijen Pusat (CIA) dan lembaga AS lainnya.

Bukti belum cukup konklusif, namun, bagi AS untuk secara resmi menyalahkan Moskow atas insiden yang dimulai pada akhir 2016 dan berlanjut pada 2018, menyebabkan perpecahan besar dalam hubungan AS-Kuba.

Sejak tahun lalu, militer AS telah bekerja untuk membuat teknologi pengantisipasi atas senjata yang digunakan untuk melukai para diplomat mereka, menurut pejabat administrasi Trump, para pembantu kongres dan lainnya yang memberikan penjelasan mengenai investigasi, termasuk dengan menguji berbagai perangkat itu pada hewan.

Sebagai bagian dari upaya itu, AS telah berkoordinasi dengan Angkatan Udara dan program penelitian energi terarahnya di Pangkalan Angkatan Udara Kirtland di New Mexico, di mana militer memiliki laser raksasa dan laboratorium canggih untuk menguji senjata elektromagnetik berkekuatan tinggi, termasuk gelombang mikro.

Meskipun AS yakin gelombang mikro canggih atau jenis senjata elektromagnetik lain kemungkinan digunakan oleh Rusia kepada pegawai pemerintah AS, mereka juga mengeksplorasi kemungkinan bahwa satu atau lebih dari stau teknologi tambahan --mungkin bersama dengan gelombang mikro-- juga digunakan dalam serangan di Kuba atau China, kata pejabat yang terlibat dalam investigasi pemerintah.

 

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Bukan Serangan Sonik

Ilustrasi Rusia dan Bendera Rusia (AP PHOTO/Alexander Zemlianichenko)
Ilustrasi Rusia dan Bendera Rusia (AP PHOTO/Alexander Zemlianichenko)

AS mengatakan, 26 pekerja pemerintah terluka dalam serangan yang tidak jelas di rumah dan hotel mereka di Havana mulai akhir 2016, menyebabkan cedera otak, kehilangan pendengaran dan masalah dengan kognisi, keseimbangan, visi dan masalah pendengaran.

Suara-suara aneh yang didengar oleh para pekerja pada awalnya mengarahkan para penyelidik untuk mencurigainya sebagai proyektil senjata sonik, tetapi, FBI kemudian memutuskan bahwa gelombang suara saja tidak dapat menyebabkan luka-luka.

Tahun ini, satu pekerja AS di China didiagnosis dengan gejala yang sama setelah mendengar bunyi aneh di Guangzhou, dan lebih banyak pegawai diplomatik AS lain di China sedang diperiksa atas kemungkinan gejala serupa.

Motif masih belum jelas, tetapi insiden-insiden itu telah memicu keretakan antara AS dan Kuba yang telah menyebabkan Washington memindahkan sebagian besar diplomat dan mata-mata dari pulau itu.

Pada awal penyelidikan, pejabat senior AS mengangkat kemungkinan bahwa penyakit yang diderita oleh para pejabat diplomatiknya adalah konsekuensi yang tidak diinginkan dari beberapa teknologi mata-mata baru. Namun, fakta bahwa insiden itu terus berlanjut lama setelah mereka diketahui publik, telah menimbulkan keraguan tentang kemungkinan bahwa kerusakan itu bukanlah hal yang tidak disengaja.

Dalam kesaksian di hadapan Kongres AS pekan lalu, para pejabat Kementerian Luar Negeri sepakat bahwa insiden-insiden itu harus dianggap sebagai "serangan."

"Kementerian Luar Negeri telah sampai pada tekad bahwa mereka (para korban) telah diserang," kata Duta Besar Peter Boode, yang memimpin gugus tugas untuk menanggapi insiden tersebut, mengatakan pada panel Komite Urusan Luar Negeri Kongres AS.


Rusia?

Ilustrasi CIA
Ilustrasi Badan Intelijen CIA (File / Liputan6.com)

Jika Rusia menggunakan senjata futuristik untuk menyerang personel AS, itu akan menandai eskalasi yang menakjubkan dalam agresi Rusia terhadap negara-negara Barat, menyusul tuduhan Barat kepada Moskow sebagai dalang di balik peracunan mantan mata-mata dan putrinya di Inggris menggunakan racun syaraf Novichok.

Meski belom komplet, penyelidikan itu, yang mengarah pada kemungkinan bahwa Rusia berada di belakang serangan Kuba akan memicu kemarahan Kongres AS untuk segera menyerukan tanggapan segera, terutama, ketika Presiden Donald Trump menghadapi pertanyaan lanjutan tentang kesediaannya untuk menantang Rusia dan Presiden Vladimir Putin.

Pejabat pemerintah Rusia tidak segera menanggapi permintaan untuk komentar.

Di sisi lain, dalam sebuah pernyataan, juru bicara Kementerian Luar Negeri Heather Nauert mengatakan, "Investigasi sedang berlangsung. Kami tidak membuat keputusan siapa atau apa yang bertanggung jawab atas serangan itu."

Sementara itu, Kantor Direktur Intelijen Nasional AS menolak berkomentar.

Kecurigaan AS yang kuat bahwa Rusia berada di belakang insiden, berarti bahwa pemerintah Kuba tidak lagi dianggap sebagai pelakunya.

Namun, para pejabat tidak menutup kemungkinan bahwa dinas intelijen Kuba mungkin telah menawarkan sejumlah kerja sama atau persetujuan diam-diam kepada Rusia. Karena faktanya, badan intelijen Rusia dan China beroperasi di Kuba, kata para pejabat.

Pemerintah Kuba telah berulang kali membantah adanya pengetahuan atau keterlibatan dalam serangan terhadap warga AS di Kuba, dan berpendapat tidak ada bukti bahwa serangan itu terjadi.

AS menyatakan bahwa siapa pun yang melakukan serangan, Kuba memikul tanggung jawab karena gagal melindungi diplomat AS di tanah Kuba.

Meskipun AS tidak pernah mengungkapkan identitas korban, pejabat mengatakan kepada NBC News bahwa selain diplomat Kementerian Luar Negeri, para korban termasuk beberapa petugas CIA, setidaknya satu anggota militer AS, dan perwakilan dari lembaga lain.

Sindrom medis tetap menjadi misteri, bahkan bagi para dokter Pennsylvania University yang merawat pasien.

Dalam mencari jawaban, pada 14 Agustus, AS mengundang pejabat dari Kementerian Energi, Institut Kesehatan Nasional, Kementerian Luar Negeri, dan pemerintah Kanada di Laboratorium Nasional Sandia di Livermore, California, menurut pejabat medis Kementerian Luar Negeri.

Pakar AS yang menghadiri konferensi neurotrauma di Toronto dihubungkan dengan konferensi video ketika dokter dari Pennsylvania University mempresentasikan temuan teknis terbaru mereka. Tetapi pertemuan itu berakhir tanpa ada pewahyuan medis baru.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya