Liputan6.com, Tallinn - Pada malam yang dingin dan penuh badai di bulan September 1994, MS Estonia, kapal penumpang seberat 20.300 ton meninggalkan Pelabuhan Tallinn di Estonia menuju Stockholm, Swedia. Ada 803 penumpang dan 186 awak di dalamnya.
Lepas tengah malam, sejumlah orang mendengar suara memekakkan telinga dari dek kargo. Kala itu beberapa penumpang berada di restoran, para muda-mudi melantai di diskotik, namun mayoritas sudah terlelap di kasur empuk atau meringkuk di dalam kantung tidur.
Advertisement
Baca Juga
Suara keras juga membangunkan Paul Barney, yang tidur di dalam kafe di Dek 5. Demi menghemat uang ia memutuskan untuk 'berkemah' di ruang terbuka di MS Estonia.
Tak lama kemudian, kapal miring drastis. Meja-meja dan kursi-kursi meluncur liar. Piring-piring dan gelas-gelas pecah. Teriakan panik terdengar di sana-sini. Arsitek lanskap asal Inggris itu sempat mengira, bahtera tersebut kandas.
Ia pun susah payah menuju pintu antara kafe dan geladak pesiar (promade deck) -- satu-satunya pintu keluar dari sana. Tak ada peralatan darurat di sana. Para awak juga tak memberikan instruksi apapun.
"Aku menyadari sedang berada di situasi yang gawat saat itu," kata Barney seperti dikutip dari situs The Week. "Aku mungkin mati."
Setelah menarik sejumlah baju hangat dari ransel dan melepas sepatu botnya, pria itu memanjat langit-langit berpipa di MS Estonia yang sudah dalam kondisi terbalik.
Diterangi temaram cahaya bulan separuh, di tengah angin kencang dan terjangan ombak, ia merayap sejauh 500 kaki atau 152 meter di permukaan kapal yang berlubang untuk bergabung dengan sejumlah penumpang yang sedang menyiapkan sekoci tiup.
Dari 16 orang yang berhasil naik sekoci itu, 10 di antaranya tewas akibat hipotermia malam itu. Dan, dari 989 penumpang yang ada di MS Estonia, hampir dua pertiganya, atau lebih dari 800 orang, tewas dalam insiden yang terjadi pada 28 September 1994.
"Hal terakhir yang kami lihat adalah lambung Estonia menghilang di bawah gelombang," kata penyintas lain, Neeme Kalk seperti dikutip dari The Guardian.
Mekanik kapal tersebut menggambarkan orang-orang panik yang mencoba keluar dari kapal. "Sejumlah lansia tak mampu mencapai sekoci."
Â
Saksikan video terkait Estonia berikut ini:
Hening yang Mencekam
Sementara itu di pangkalan penjaga pantai Uto, 22 mil atau 35 kilometer dari titik di mana MS Estonia berada, Komandan Pasi Staff dan para anak buahnya tak hanya menyaksikan detik-detik berakhirnya bahtera itu, tapi juga 'mendengarnya'.
"Estonia muncul di radar kami tepat selama delapan menit. Saat itu, ia tak bergerak. Pada pukul 01.48, kapal itu menghilang dari layar dan kami tahu apa artinya," kata dia.
Kala itu, dia menambahkan, radio komunikasi Estonia mengirimkan pesan terakhir ke feri lainnya Silja Europa.
"Mayday, mayday. Ini Estonia. Kemiringan 20 hingga 40 derajat. Posisi 59 derajat, 22 menit. Blackout...," demikian pesan yang dikirim awak Estonia.
Seruan Mayday berasal dari Bahasa Prancis m'aidez, yang berarti "tolonglah kami".
Pesan itu terputus tiba-tiba. Lalu, Estonia diam. Hening. Mungkin akibat terputusnya daya atau energi di dalam kapal. Dugaan lainnya, air sudah memasuki ruang mesin.
Itu adalah kontak pertama dan terakhir yang dilakukan kapal nahas itu.
Di pangkalan penjaga pantai tersebut, beberapa hari kemudian, sejumlah jasad dibawa ke kamar jenazah sementara yang didirikan di sana. Kebanyakan hanya mengenakan pakaian tidur dan baju pelampung.
"Kami berupaya memperlakukan mereka dengan penuh martabat. Bagi kami di sini, mereka adalah korban yang heroik," kata Kolonel Juhani Haapala.
Sebuah penyelidikan yang dilakukan tim internasional pada 1997 menyimpulkan bahwa pintu haluan kapal yang rusak di tengah badai menjadi titik pangkal bencana.
Namun, sejumlah spekulasi beredar, dari kerabat korban, ahli perkapalan dan politisi, yang salah satunya menyebut MS Estonia setelah ledakan yang disebabkan oleh peralatan militer yang diangkut di dalamnya.
Selain tenggelamnya MS Estonia, sejumlah peristiwa bersejarah terjadi pada 28 September.
Pada 1966, Indonesia diterima kembali di Perserikatan Bangsa-Bangsa, setelah keluar dari organisasi tersebut pada 20 Januari 1965 akibat konfrontasi dengan Malaysia.
Dan, pada 28 September 1887, banjir yang melanda Sungai Kuning merenggut 1,3 juta nyawa.
Â
Advertisement