Liputan6.com, Washington DC - Donald Trump mengatakan pada Rabu 19 Desember 2018 bahwa pasukan Amerika Serikat (AS) segera ditarik dari Suriah, setelah dia mengklaim ISIS telah "dikalahkan".
Senada dengan Trump, Pentagon mengatakan sedang bertransisi ke "fase operasi selanjutnya", tetapi tidak memberikan rincian lebih jauh.
Dikutip dari BBC pada Kamis (20/12/2018), sekitar 2.000 tentara disebut telah membantu mengamankan sebagian besar wilayah Suriah timur laut dari pengaruh ISIS, tetapi kantong-kantong pemberontakan dilaporkan masih ada di beberapa titik.
Advertisement
Para analis menduga bagwa sebagian besar pejabat pertahanan ingin mempertahankan kehadiran militer AS di Suriah, guna memastikan ISIS tidak kembali bangkit. Muncul pula kekhawatiran bahwa penarikan pasukan tersebut akan memberi pengaruh lebih luas bagi campur tangan Rusia dan Iran.
Baca Juga
Di lain pihak, Gedung Putih mengatakan:: "AS dan sekutu siap terlibat kembali di semua kebutuhan militer untuk membela kepentingan Amerika kapan pun diperlukan, dan kami akan terus bekerja sama untuk menolak klaim wilayah ISIS."
Donald Trump mengatakan sudah waktunya untuk membawa pulang pasukan AS setelah "kemenangan bersejarah" mereka. Ini merupakan realisasi dari janji terkait yang telah dia gaungkan sejak lama.
Tetapi, para pengamat menilai, pengumuman itu bisa jadi telah mengejutkan beberapa pejabatnya sendiri.
Pekan lalu, Brett McGurk, utusan khusus presiden AS untuk koalisi global penumpasan ISIS, mengatakan kepada wartawan di kementerian luar negeri: "Tidak ada yang mengatakan bahwa (ISIS) akan menghilang. Tidak ada yang naif tentang itu. Jadi kami ingin tetap di Suriah dan memastikan stabilitas dapat dipertahankan di area tersebut."
Sementara itu, Kemenlu AS secara tiba-tiba membatalkan briefing harian pada Rabu 19 Desember, setelah penarikan pasukan AS diumumkan.
Salah satu pendukung Donald Trump, Senator Republik Lindsey Graham, yang duduk di komite layanan bersenjata, menyebut kabar penarikan tersebut sebagai "kesalahan besar seperti Obama".
Dalam serangkaian twit, Graham mengatakan ISIS "tidak kalah", dan memperingatkan penarikan pasukan AS menempatkan sekutu setempat, yakni Kurdi, dalam bahaya.
Simak video pilihan berikut:
Khawatir ISIS Beralih Gerilya
Selama ini, pasukan AS sebagian besar ditempatkan di wilayah Kurdi di Suriah utara, yang berbatasan langsung dengan Turki.
Sebuah kemitraan dengan aliansi pejuang Kurdi Suriah dan Arab, yang dikenal sebagai Pasukan Demokratik Suriah (SDF), memainkan peran utama dalam perang terhadap ISIS, yang telah menguasai sebagian besar wilayah negara itu sejak empat tahun lalu.
Namun, sebuah laporan AS baru-baru ini mengatakan bahwa ISIS belum sepenuhnya lenyap. Masih ada 14.000 militan yang berada di Suriah dan di sekitar perbatasan dengan Irak.
Muncul kekhawatiran bahwa ISIS akan beralih pada taktik gerilya dalam upaya untuk membangun kembali jaringan mereka.
Namun kemitraan antara AS dan Kurdi telah membuat marah Turki yang bertetangga, yang memandang milisi YPG --pasukan tempur utama SDF-- sebagai perpanjangan dari kelompok pemberontak yang menuntut otonomi khusus.
Meski begitu, pada Senin 17 Desember, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan negaranya mungkin akan segera memulai operasi militer baru melawan YPG di Suriah.
Erdogan menambahkan bahwa dia telah mendiskusikan rencananya dengan Trump melalui telepon, dan bahwa dia telah memberikan "respon positif".
Di sisi lain, AS mengumumkan pada hari Selasa bahwa pihaknya setuju menjual rudal senilai US$ 3,5 miliar (setara Rp 50,7 triliun) ke Turki, untuk meningkatkan kemampuan pertahanan militer setempat terhadap agresi bermusuhan, dan juga melindungi sekutu NATO yang berlatih atau beroperasi di perbatasan negara tersebut.
Advertisement