Liputan6.com, Canberra - Dugaan tindakan keras pemerintah China terhadap etnis minoritas Uighur (yang mayoritas muslim) telah mendapat kecaman, terutama dari negara-negara Barat. Namun beberapa suara yang dianggap signifikan, yakni dari negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, dinilai minim, kata akademisi dari universitas di Australia.
Sebuah panel HAM PBB di Jenewa pada Agustus 2018 lalu memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uighur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang, barat laut China sejak 2017.
Pakar kebijakan China Michael Clarke, dari Australian National University (ANU), mengatakan kepada ABC.net.au bahwa kekuatan ekonomi Tiongkok dan takut mendapat balasan, diduga menjadi faktor besar dalam diamnya negara berpenduduk mayoritas Islam untuk menyikapi isu Uighur. Selain itu, ada pula faktor pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri.
Advertisement
Baca Juga
"Kita menghadapai salah satu negara paling kuat di dunia," kata Michael Clarke, seperti dikutip dari ABC Indonesia, Rabu (26/12/2018).
"Sangat menyedihkan karena orang-orang Uighur mendapat perlakuan ini."
Sebaliknya, negara-negara Barat seperti Australia dan Amerika Serikat secara terbuka mengecam tindakan Pemerintah China di wilayah tersebut.
Investasi China di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara dari 2005 hingga tahun 2018 telah berjumlah AU$ 144,8 miliar.
Sementara di Malaysia dan Indonesia, jumlahnya AU$ 121,6 miliar dibandingkan periode yang sama, menurut lembaga think tank American Enterprise Institute, seperti dikutip dari ABC.net.au.
Beijing telah banyak berinvestasi di industri minyak dan gas milik negara Arab Saudi dan Irak, serta menjanjikan investasi berkelanjutan di seluruh Asia, Afrika, dan Timur Tengah.
"Tampaknya (itu dilakukan ) untuk menghentikan negara-negara ini secara terbuka mengkritik Beijing (terkait Uighur)," kata Michael Clarke.
Simak video piliihan berikut:
Prinsip Non-intervensi
Pemerintah Indonesia tidak melakukan kritik terbuka terhadap China terkait merebaknya dugaan kabar pelanggaran HAM terhadap Uighur di Xinjiang.
Namun, Jakarta mengatakan bahwa mereka telah menyampaikan keprihatinannya kepada duta besar Tiongkok terkait hal itu --yang disaat bersamaan juga mendapat tekanan dari kelompok dan organisasi muslim di Tanah Air.
Kementerian Luar Negeri RI pada 20 Desember juga mengatakan bahwa mereka telah meminta Dubes RI di China untuk "mencari informasi" terkait isu Uighur di Xinjiang.
Sementara itu, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pada 17 Desember, mengatakan, "Tentu saja, kami menolak atau ingin mencegah pelanggaran hak asasi manusia."
"Namun, kami tidak ingin campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain," kata Kalla, menegaskan kembali prinsip politik luar negeri non-intervensi Indonesia.
China juga memegang kebijakan "non-intervensi" di mana mereka menghindari keterlibatan urusan dalam negeri negara-negara lain.
Para analis mengatakan sekarang negara-negara berpenduduk mayoritas muslim juga melakukan hal yang sama pada Beijing.
China sejauh ini telah berulang kali menjauhkan diri dalam menggunakan hak veto pada pertemuan dewan keamanan PBB dalam melakukan intervensi internasional, seperti usulan sanksi di Suriah dan di Myanmar.
"Banyak (negara-negara Muslim) memiliki masalah internal sendiri, seperti masalah agama atau etnis minoritas ... jadi mereka tidak mengkritik Beijing karena mereka memiliki masalah sendiri yang harus ditangani" kata Michael Clarke dari Australian National University (ANU).
Turki pernah menentang China soal Xinjiang dan tentu tidak dilupakan oleh China.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menggambarkan peristiwa di provinsi itu sebagai "genosida" sementara Turki juga menyediakan suaka bagi warga Uighur yang melarikan diri dari wilayah itu.
Beijing telah memberikan tawaran untuk mendukung krisis ekonomi tahun ini di Turki, dengan syarat Turki tidak akan memberikan "komentar tidak bertanggung jawab" soal Uyghur atau kebijakan etnis di Xinjiang. Sejak saat itu Turki tidak memberikan komentar sama sekali.
"Sayangnya, semua itu bermuara pada perhitungan apakah bermanfaat bagi kita serta hubungan kita dengan pihak lain secara lebih luas," kata Michael Clarke.
*Tasha Wibawa melaporkan untuk ABC.net.au.
Advertisement