Liputan6.com, Jakarta - Teror bom ganda melanda sebuah katedral Katolik-Roma di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina selatan pada Minggu 27 Januari 2019 pagi waktu lokal. Peristiwa itu menewaskan 22 orang dan melukai lebih dari 100 orang lainnya.
Pemerintah Filipina, pada Jumat 1 Februari 2019 menyatakan bahwa pelaku teror bom itu dua warga Indonesia.
Namun, sejauh ini Indonesia menyatakan bahwa pihaknya belum dapat mengonfirmasi berita mengenai kemungkinan keterlibatan dua WNI dalam aksi teror bom di Jolo, jelas Kementerian Luar Negeri RI dalam pernyataan tertulis yang diperoleh Liputan6.com, Jumat malam (1/2/2019).
Advertisement
"Menteri Luar Negeri RI tengah mencoba berkomunikasi dengan berbagai pihak di Filipina untuk memperoleh konfirmasi," lanjut Kemlu RI.
Baca Juga
"KBRI di Manila maupun KJRI di Davao City juga tengah berusaha mendapatkan konfirmasi dari berita tersebut."
"Informasi terakhir yang diterima hari ini (oleh Kemlu RI) dari pihak Kepolisian Nasional Filipina (PNP) dan komando militer Western Mindanao Command (Westmincom) menjelaskan bahwa pelaku pengeboman di Jolo, sampai saat ini belum teridentifikasi identitas maupun kewarganegaraanya," tambah Kementerian Luar Negeri.
Pernyataan dari Pemerintah Filipina
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Filipina, Eduardo Ano mengatakan, pelaku serangan teror di Jolo diduga adalah pasangan asal Indonesia yang dibantu oleh kelompok yang terafiliasi ISIS.
Menurut Menteri Ano, informasi tersebut didapat dari keterangan saksi dan sejumlah sumber yang tidak disebutkan namanya.
"Mereka orang Indonesia," kata Ano kepada CNN Philippines, seperti dikutip dari Euronews, Jumat (1/2/2019). "Saya yakin mereka orang Indonesia."
Ano menambahkan, pasangan tersebut menerima bantuan dari Abu Sayyaf, sebuah organisasi militan terafiliasi ISIS di Filipina Selatan yang terkenal karena aksi penculikan dan aksi ekstremis lainnya.
Mendagri Filipina menambahkan, mereka yang merencanakan serangan itu berada di bawah instruksi ISIS.
Pernyataan Ano menambah silang sengkarut keterangan terkait insiden bom, yang diwarnai inkonsistensi dan tak jarang kontradiktif, dari aparat maupun pejabat. Seorang penyelidik mengungkapkan, hal tersebut dipicu oleh kondisi tempat kejadian perkara (TKP) yang terkontaminasi.
Awalnya, pada Selasa lalu, pejabat keamanan mengatakan, dua bom diledakkan dari jarak jauh.
Namun, keterangan tersebut berubah setelah Presiden Rodrigo Duterte mengatakan, insiden tersebut diduga adalah bom bunuh diri.
Senada, Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana mengatakan pemeriksaan tas di pintu masuk ke gereja akan mempersulit pelaku untuk menanam bom di sana, sehingga bahan peledak yang dilekatkan ke tubuh, lebih memungkinkan lolos.
"Menurut penyelidik forensik...bagian-bagian jasad bisa jadi milik dua orang: satu di dalam gereja dan satu lainnya di luar," kata Lorenzana.
Simak video pilihan berikut:
Bom Ganda Meledak saat Misa Minggu
Dua bom meledak di sebuah katedral Katolik-Roma di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina selatan pada Minggu 27 Januari 2019 pagi waktu lokal.
Ledakan di Katedral Our Lady of Mount Carmel menewaskan setidaknya 22 orang dan menyebabkan lebih dari 100 lainnya terluka, kata para pejabat. Sebagian besar korban adalah warga sipil.
Ledakan pertama terjadi tepat ketika Misa Minggu berlangsung, sekitar pukul 08.45 waktu setempat. Ketika tentara merespons, bom kedua meledak di tempat parkir gereja, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (27/1/2019).
Kelompok ISIS pada Minggu, 27 Januari 2019, mengaku bertanggung jawab atas pengeboman ganda tersebut.
Klaim mereka muncul beberapa jam setelah serangan bom, yang disebarkan melalui corong kantor berita Amaq, menurut SITE Intelligence Group yang memantau aktivitas online organisasi ekstremis itu.
Dikutip dari The Straits Times pada Senin (28/1/2019), ISIS langsung merilis pernyataannya sendiri, yang mengklaim sebagai dalang di baliknya, beberapa saat setelah bom meledak.
Polisi juga menduga serangan itu adalah perbuatan Abu Sayyaf, sebuah kelompok militan domestik yang telah berjanji setia kepada ISIS, serta terkenal karena pemboman dan kebrutalannya.
"Mereka ingin menunjukkan kekuatan dan menabur kekacauan," kata kepala polisi nasional Oscar Albayalde kepada radio DZMM, mengindikasikan bahwa Abu Sayyaf adalah tersangka utama.
Merespons peristiwa nahas tersebut, pemerintah Filipina berjanji untuk memburu para pelakunya "sampai setiap pembunuhnya diadili dan dipenjara," ujar Manila dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (28/1/2019).
Pernyataan dari pemerintah Filipina menambahkan bahwa "para pelaku yang kejam" tidak akan "diberi ampun".
Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengecam pengeboman itu, menyebutnya "aksi terorisme."
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan agar para pelaku kejahatan itu segera diadili.
Jolo dalam beberapa tahun terakhir berada di bawah bayang-bayang ancaman Abu Sayyaf, sebuah kelompok teroris terafiliasi ISIS yang dipersalahkan atas beberapa pengeboman terburuk dan penculikan terkenal di Filipina.
Polisi lokal menduga serangan itu adalah perbuatan Abu Sayyaf. "Mereka ingin menunjukkan kekuatan dan menabur kekacauan," kata kepala polisi nasional Oscar Albayalde kepada radio DZMM, menunjukkan bahwa kelompok itu adalah tersangka utama.
Namun, pihak berwenang Filipina belum menentukan motif serangan itu. Belum jelas pula apakah teror terkait dengan referendum yang diadakan di daerah itu pekan lalu, yang mana mendukung pembentukan daerah otonom muslim Bangsamoro yang baru di Mindanao.
Advertisement