AS Sisakan 200 Tentara Setelah Penarikan Militernya dari Suriah

Pemerintah AS memutuskan untuk menyisakan 200 orang tentara di Suriah, setelah semua kekuatan militernya ditarik dari negara yang hancur oleh perang itu.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 22 Feb 2019, 16:04 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2019, 16:04 WIB
Pasukan demokrasi Suriah dan militer AS melakukan patroli keamanan di Kota Al-Darbasiyah (AFP/Delil Souleiman)
Pasukan demokrasi Suriah dan militer AS melakukan patroli keamanan di Kota Al-Darbasiyah (AFP/Delil Souleiman)

Liputan6.com, Washington DC - Militer Amerika Serikat (AS) mengumumkan akan tetap menempatkan sekitar 200 tentara di Suriah, menyusul kebijakan Donald Trump untuk menarik semua kepentingan Negeri Paman Sam dari negara yang dilanda perang itu.

"Sekelompok kecil penjaga perdamaian, yang terdiri dari sekitar 200 pasukan, akan tetap berada di Suriah untuk jangka waktu tertentu," kata Sarah Sanders, juru bicara Gedung Putih, Kamis 21 Februari.

Dikutip dari The Straits Times pada Jumat (22/2/2019), pengumuman itu datang di tengah kritik keras terhadap keputusan Trump untuk menarik 2.000 tentara Amerika dari Suriah pada 30 April, dengan anggota Partai Republiknya sendiri mengecam langkah tersebut.

Pada bulan Desember, Donald Trump menyatakan kemenangan atas ISIS di Suriah, meskipun ribuan militan tetap terlibat pertempuran di sekitar pertikaian terakhir mereka.

Para pengamat mengecam sejumlah kemungkinan buruk akibat penarikan yang terlalu cepat, termasuk risiko serangan Turki terhadap pasukan Kurdi yang didukung AS, dan kebangkitan ISIS.

Sementara itu, jubir Sanders tidak memberikan rincian tambahan, tetapi penempatan sebagian kecil pasukan "penjaga perdamaian" diharapkan bisa membuka jalan bagi sekutu Eropa, untuk melakukan pengawasan serupa di Suriah.

Pejabat Menteri Pertahanan Patrick Shanahan mengunjungi Eropa pekan lalu, di mana ia berusaha meyakinkan sekutu untuk mempertahankan kehadiran pasukan di Suriah setelah AS menarik diri.

Namun, Shanahan mengalami kesulitan dalam meyakinkan negara-negara lain tentang mengapa mereka harus mengambil risiko menempatkan pasukan di Suriah, ketika AS telah pergi.

Di lain pihak, Donald Trump berbicara dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada hari Kamis, dan kedua pemimpin itu membahas dengan serius masalah di Suriah, lapor ringkasan Gedung Putih.

"Kedua presiden sepakat untuk terus berkoordinasi pada penciptaan zona aman potensial di Suriah," tulis ringkasan itu.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Kekuatan ISIS Kian Melemah

Memburu Militan ISIS di Kantong Terakhir Kekhalifahan
Anggota Syrian Democratic Forces beristirahat saat memburu militan ISIS di kantong terakhir kekhalifahan di Baghouz, Suriah, Selasa (19/2). Sebelumnya, ISIS menguasai area seluas Inggris Raya dan memerintah lebih dari 10 juta orang. (Delil souleiman/AFP)

Pada puncak pemerintahannya, ISIS memberlakukan ideologi brutal di wilayah yang kira-kira seukuran Inggris, menarik ribuan pendukung dari luar negeri.

Namun sejak itu, militan terkait kehilangan hampir seluruh wilayah mereka, dan hanya menyisakan sepotong kecil pertahanan, yang luasnya sekitar setengah kilometer persegi di desa Baghouz, Suriah timur.

Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS sedang berupaya untuk mengevakuasi warga sipil yang tersisa dalam pertempuran, sehingga mereka dapat menghancurkan "kekhalifahan ISIS yang sekarat", baik melalui serangan atau kesepakatan penyerahan.

Di saat bersamaan, pasukan Kurdi Suriah telah lama menuntut pemulangan orang asing yang dituduh sebagai anggota ISIS dalam tahanan mereka, tetapi negara asal mereka enggan mengabulkannya.

Trump mengatakan pada Rabu 20 Februari, bahwa ia melarang seorang mantan propagandis ISIS kelahiran AS untuk pulang dari Suriah, tempat di mana konflik telah menewaskan lebih dari 360.000 jiwa, dan membuat jutaan orang terlantar sejak 2011.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya