Oposisi Thailand Bentuk Koalisi untuk Menggeser Kekuasaan Junta Militer

Tujuh partai Thailand, pada Rabu 27 Maret 2019, membentuk "front demokrasi" di tengah pemilihan umum untuk majelis rendah (DPR) yang sedang dipersengketakan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 27 Mar 2019, 17:37 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2019, 17:37 WIB
Ilustrasi bendera Thailand (AP/Sakchai Lalit)
Ilustrasi bendera Thailand (AP/Sakchai Lalit)

Liputan6.com, Bangkok - Tujuh partai Thailand, pada Rabu 27 Maret 2019, membentuk "front demokrasi" di tengah pemilihan umum untuk majelis rendah (DPR) yang sedang dipersengketakan. Tujuannya, mencoba untuk menggeser kekuasaan junta militer yang berkuasa serta mengejar hak untuk mencoba dan membentuk pemerintahan.

Sengketa pemilu tengah terjadi di Thailand, ketika berbagai pihak melaporkan perbedaan penghitungan jumlah suara. Akibatnya, komisi pemilihan (EC) terpaksa menunda pengumuman hasil akhir resmi yang semula dijadwalkan pada 25 Maret kemarin.

Sebelum mengumumkan penundaan, EC awalnya mengatakan, partai pro-militer, Partai Palang Pracha Rath (PPRP) memimpin hasil pemilu majelis rendah. Namun, ada banyak keluhan tentang penyimpangan, data yang tidak akurat, dan tuduhan pembelian suara.

Di tengah sengketa itu, sejumlah oposisi menyatakan akan berkoalisi untuk membentuk pemerintahan baru. Kendati demikian, mereka kemungkinan akan gagal memilih perdana menteri, yang membutuhkan suara gabungan dengan majelis tinggi parlemen, Senat.

Mengingat, Senat sepenuhnya ditunjuk oleh jenderal yang berkuasa yang pada tahun 2014 kala menggulingkan pemerintah partai Pheu Thai yang terpilih pada pemilu tahun itu.

"Kami ingin menghentikan rezim agar tidak berkuasa," kata kandidat perdana menteri dari partai Pheu Thai, Sudarat Keyuraphan pada konferensi pers yang mengumumkan pembentukan koalisi, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (27/3/2019).

Hasil sebagian masih menunjukkan bahwa partai pro-tentara Palang Pracharat akan memiliki suara yang cukup untuk mempertahankan pemimpin junta militer petahana, Prayuth Chan-ocha sebagai perdana menteri.

Tetapi mayoritas aliansi oposisi di majelis rendah, DPR, diperkirakan dapat menyebabkan kebuntuan, terutama ketika Senat justru dikuasai oleh orang-orang pilihan militer, Al Jazeera melaporkan.

Oposisi Yakin Menggeser Pemerintahan Junta Militer

Kandidat perdana menteri dari partai oposisi Pheu Thai, Sudarat Keyuraphan mengatakan, dengan partai-partai lain, aliansi oposisi akan memenangkan setidaknya 255 kursi DPR (dari total 500 kursi), berdasarkan perhitungan yang diambil dari hasil parsial.

"Meskipun saat ini jumlahnya masih bergerak, kami yakin kami akan memiliki setidaknya 255 kursi di antara kami," kata Sudarat, menambahkan Pheu Thai juga dalam pembicaraan dengan pihak lain.

"Kami mendeklarasikan front demokrasi yang menentang aturan militer memimpin mayoritas di DPR."

Sekretaris Jenderal Pheu Thai, Phumtham Wechayachai, mengatakan kepada para wartawan bahwa front demokrasi sekarang termasuk partai Forward Forward, Pheu Chart, Prachachart, Seri Ruam Thai, Thai People Power, dan New Economy.

Thanathorn Juangroongruangkit (40) dan partai Future Forward-nya menarik perhatian sekitar tujuh juta pemilih pemula yang frustrasi pada 15 tahun perpecahan politik negara itu. Tapi dia didakwa dengan kejahatan dunia maya sebelum pemungutan suara dan masa depannya sendiri masih belum jelas.

"Kami akan bekerja sama dengan pihak-pihak yang berada di konferensi pers hari ini, apa pun hambatan di depan ... Kami siap menghentikan rezim dari memegang kekuasaan," kata miliarder telekomunikasi Thailand itu.

 

Simak video pilihan berikut:

Junta Militer Thailand Mulai Goyah?

Ilustrasi bendera Thailand (AP Photo)
Ilustrasi bendera Thailand (AP Photo)

Jenderal Prayuth Chan-ocha dinominasikan sebagai satu-satunya kandidat perdana menteri dari PPRP pro-militer yang baru dibentuk.

Di antara partai-partai terkemuka lainnya adalah Demokrat, yang dipimpin oleh mantan perdana menteri Abhisit Vejjajiva, dan partai Future Forward yang baru, yang dipimpin oleh miliarder telekomunikasi muda, Thanatorn Juangroongruangkit.

Pada saat kudeta, militer mengatakan ingin memulihkan ketertiban dan stabilitas dan mencegah protes jalanan yang telah berulang kali terjadi selama bertahun-tahun.

Namun junta telah dituduh mengambil pendekatan otoriter terhadap kekuasaan, secara ketat mengontrol media dan secara sewenang-wenang menggunakan undang-undang seperti lese majeste - yang melarang kritik militer - untuk membungkam lawan.

Junta juga memperkenalkan konstitusi - yang disetujui oleh referendum - yang menurut para pengkritiknya dirancang untuk memastikannya tetap menjadi pusat politik Thailand.

Menjadi kandidat militer yang lebih disukai, Jenderal Prayuth secara teori hanya membutuhkan 126 suara majelis rendah untuk menjabat. Partai yang memerintah atau koalisi juga dapat menunjuk non-MP sebagai perdana menteri.

Konstitusi baru juga memberlakukan batasan pada jumlah kursi yang dapat diambil oleh satu partai, terlepas dari jumlah suara yang dimenangkan, dan setiap pemerintahan di masa depan terikat secara konstitusional untuk mengikuti rencana 20 tahun militer untuk Thailand.

Hasil awal tidak resmi akan muncul dalam beberapa jam, tetapi koresponden mengatakan akan membutuhkan waktu untuk arah masa depan Thailand menjadi jelas, karena pihak-pihak menegosiasikan kesepakatan dan koalisi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya