Liputan6.com, Khartoum - Para pemimpin protes Sudan telah sepakat untuk mengakhiri kampanye pembangkangan sipil yang berlangsung sejak petugas keamanan melakukan tindakan keras kepada para demonstran, kata seorang mediator dari Ethiopia pada Selasa, 11 Juni 2019. Sumber itu menambahkan, mereka juga akan melanjutkan pembicaraan dengan para jenderal yang berkuasa di Khartoum.
"Aliansi untuk Kebebasan dan Perubahan setuju untuk mengakhiri pembangkangan sipil (kampanye) mulai hari ini," kata Mahmoud Drir, yang telah menjadi penengah (mediator krisis) di Sudan sejak kunjungan Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed pekan lalu, kepada wartawan.
Advertisement
Baca Juga
"Kedua belah pihak juga sepakat untuk memulai lagi perundingan dengan segera," katanya, merujuk pada penyerahan kekuasaan kepada pemerintah sipil sebagaimana dilansir dari News18 pada Rabu (12/6/2019).
Gerakan protes itu sendiri telah menyerukan kepada orang-orang untuk kembali bekerja pada Rabu.
"TMC (Transitional Military Council) sebagai isyarat niat baik telah setuju untuk membebaskan semua tahanan politik," tambah Drir, tanpa memberikan perincian.
Para pemimpin protes melancarkan kampanye pembangkangan sipil nasional mulai hari Minggu, 9 Juni 2019. Hal itu dilakukan setelah banyaknya warga Sudan dalam protes selama berminggu-minggu sejak 3 Juni 2019.
Simak pula video pilihan berikut:
118 Orang Tewas dalam Krisis
Dokter yang memiliki kedekatan dengan gerakan protes mengatakan, setidaknya 118 orang telah tewas sejak penumpasan 3 Juni itu.
Sementara itu, Kementerian kesehatan mengklaim bahwa 61 orang tewas pada 3 Juni di seluruh Sudan, termasuk 49 korban yang disebabkan oleh "amunisi hidup" di ibu kota Khartoum.
Selama beberapa pekan, ribuan pengunjuk rasa telah berkemah selama berminggu-minggu di luar markas tentara di Khartoum. Mereka menuntut agar jenderal yang berkuasa mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil. Hal itu merupakan permintaan utama para demonstran.
Para jenderal merebut kekuasaan setelah tentara menggulingkan penguasa lama Omar al-Bashir pada 11 April lalu, menyusul berbulan-bulan protes nasional terhadap pemerintahannya yang dipukuli selama tiga dekade. Lengsernya al-Bashir sebetulnya adalah keinginan rakyat Sudan yang protes saat itu, namun kekuasaan militer bukanlah kehendak massa aksi.
Advertisement
Ada Pemimpin Protes yang Dideportasi
Sementara itu di tengah krisis yang berkecamuk, seorang pemimpin pemberontak Sudan, Yasir Arman, mengatakan ia dan dua rekannya telah dideportasi dari Khartoum pada hari kedua pembangkangan sipil oleh para pemrotes.
Televisi pemerintah sebelumnya melaporkan, Arman bersama dengan dua rekan sesama pemberontak yakni Ismail Jalab dan Mubarok Ardol telah dibebaskan dari tahanan. Sebuah pemberitaan yang ditepis oleh Arman.
"Saya datang bersama dengan kawan Ismail Khamis Jalab dan kawan Mubarak Ardol ... Saya hanya ingin mengkonfirmasi bahwa saya telah dideportasi atas kemauan saya," kata Arman di Juba mengutip The Guardian, seraya menambahkan bahwa ia telah diterima dengan baik oleh otoritas Sudan Selatan namun belum berstatus dibebaskan.
Melalui Twitter Arman mengatakan, ia telah dideportasi dengan menggunakan helikopter militer dengan tangan diikat selama penerbangan.
Arman ditangkap pada Rabu pekan lalu. Sementara Jalab dan Ardol ditahan setelah bertemu dengan perdana menteri Ethiopia Abiy Ahmed di Khartoum pada Jumat untuk pembicaraan yang bertujuan menghidupkan kembali perundingan antara penguasa dan pengunjuk rasa di Sudan.
Adapun Arman sebenarnya telah tiba di Khartoum sejak akhir Mei. Ia mengambil bagian dalam pembicaraan dengan dewan militer yang menggulingkan presiden lama Omar al-Bashir setelah berbulan-bulan rakyat protes menuntut turun sang pemimpin yang telah berkuasa 30 tahun.