Liputan6.com, Jakarta - Presiden Venezuela Nicolas Maduro memperingatkan pada Rabu, 26 Juni 2019 bahwa ia akan berlaku kejam terhadap oposisi jika mereka mencoba kudeta. Hal itu ia sampaikan setelah staf pemerintahnya mengklaim telah menggagalkan percobaan pembunuhan yang menyasarnya.
"Kita akan kejam dalam serangan balasan revolusioner terhadap upaya kudeta fasis," kata Maduro dalam pidato yang disiarkan di radio dan televisi lapor Al Jazeera, Kamis (27/6/2019).
Advertisement
Baca Juga
Sebelumnya, juru bicara Maduro Jorge Rodriguez mengatakan, adanya jaringan yang merencanakan untuk mengebom sebuah bangunan utama pemerintah, merebut pangkalan udara Caracas dan menjarah bank sentral Venezuela. Sebagian besar dari kelompok tersebut menurut Rodriguez adalah pensiunan perwira polisi dan tentara.
Lebih lanjut, Rodriguez mengklaim bahwa jaringan itu ingin menyingkirkan pemimpin opisisi Juan Guaido dari lanskap politik Venezuela.
Rodriguez melanjutkan, jaringan itu "ingin mencuri helikopter untuk membebaskan Raul Baduel, mantan menteri pertahanan yang sekarang berada di penjara dan mengangkatnya sebagai presiden."
Tidak ada bukti yang cukup terkait klaim sang juru bicara ini. Pemerintah telah mengklaim banyak hal selama bertahun-tahun. Umumnya tanpa menawarkan bukti. Guaido menolak beberapa klaim, menyebutnya sebagai upaya pemerintah untuk mengalihkan perhatian dari masalah nyata Venezuela.
Saat ini pemimpin oposisi Juan Guaido telah mendapatkan dukungan lebih dari 50 negara. Ia juga telah mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara, menyebut pemilihan 2018 yang dimenangkan Maduro tidak sah.
Sementara Guaido mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat, Maduro mendapatkan dukungan dari Rusia.
Jet Tempur Rusia Telah Parkir di Venezuela
Sebuah pesawat angkatan udara milik Rusia telah parkir di bandara utama Venezuela pada Senin, 24 Juli 2019. Jet Ilyushin 62 dengan nomor ekor RA-86496 itu berada di Bandara Internasional Simon Bolivar, ibu kota Caracas.
Nomor ekor terdaftar ke jet angkatan udara Rusia, menurut situs web Flightradar24. Nomor itu juga cocok dengan pesawat militer yang tiba pada bulan Maret, lapor Al JazeeraÂ
Tiga bulan lalu, langkah serupa telah memicu perang kata antara Amerika Serikat dan Rusia. Sebagaimana diketahui, Moskow mendukung Presiden Venezuela Nicolas Maduro, sementara AS dan puluhan negara lain mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido.
Dia telah menyatakan diri sebagai predien et interim sejak Januari lalu, menyebut pemilu tahun lalu tidak sah.
Saat pesawat angkatan udara Rusia mendarat di Venezuela pada Maret lalu, 100 tentara dan pejabat pertahanan Rusia turut serta. Washington menyebutnya sebagai hal yang "gegabah" dilakukan oleh Moskow di negara Amerika Latin yang tengah bergejolak itu.
Presiden ASÂ Donald Trump saat itu segera memerintahkan Rusia untuk memindahkan semua pasukan dari Venezuela. Moskow menepis tuduhan, mengatakan pesawat-pesawat itu hanya membawa spesialis yang melayani kontrak penjualan senjata.
Adapun AS saat ini telah menjatuhkan sanksi terhadap Venezuela, yang disebut Rusia telah melukai para warga sipil. Moskow juga memperingatkan Washington untuk tidak menggunakan kekerasan.
Menurut badan pengungsi PBB (UNHCR), sekitar  empat juta Venezuela  - hampir 15 persen dari populasi, telah meninggalkan negara itu untuk menghindari krisis ekonomi dan politik.
Advertisement
AS Sebut Intervensi Militer di Venezuela Belum Final
Sementara itu, seorang pejabat senior Amerika Serikat mengatakan intervensi militer secara langsung di Venezuela masih merupakan opsi.
Berbicara dalam konferensi pers di Departemen Luar Negeri, pada Selasa 25 Juni 2019, Wakil Khusus Amerika Untuk Venezuela Elliot Abrams tetap menyerukan Maduro untuk mengundurkan diri.
"Penolakan Maduro untuk mundur merupakan hambatan mencapai resolusi damai," ujarnya sebagaimana dilansir dari VOA Indonesia.
Amerika adalah salah satu dari 54 negara yang mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido, yang Januari lalu telah menyatakan dirinya sebagai pemimpin negara itu. Maduro mendapatkan dukungan dari sekutu-sekutu utamanya, yaitu China dan Rusia.
Venezuela telah terperosok dalam krisis ekonomi dengan inflasi di atas satu juta persen. Warga Venezuela kini terpaksa hidup tanpa barang-barang kebutuhan utama dan layanan jasa yang penting.
Menurut PBB, dalam beberapa tahun terakhir ini empat juta warga Venezuela telah melarikan diri dari krisis ekonomi dan politik di negara mereka, memicu krisis migran di negara-negara tetangga seperti Kolombia dan Peru. Rumah sakit, sekolah dan toko-toko sembako di kota-kota perbatasan kini kewalahan, sementara angka kriminalitas melonjak tinggi. Sebagian migran Venezuela juga terpaksa tidur di jalan-jalan.